“Integritas Merupakan Pilar Pendidikan Berbasis Moral Sehingga Hasil Didik Menjadi Patriot Bagi Bangsa dan Negara yang Peka, Peduli dan Berbelarasa bagi Manusia yang Merupakan Aset Utama Bangsa”

  • Profesional
  • Humanisme
  • Polisional





– – – – –

Baca Selengkapnya…

Pertanyaanmu sangat relevan dan strategis, terutama jika dilihat dari sudut pandang akademisi di lingkungan Akpol. Mari kita ulas secara kritis dan ringkas mengenai Program ke-2 Partnership Building dalam konteks Renstra Polri 2005–2024 dan implementasinya sejak 2010 hingga kini (2025).

🔹 Apa Itu Program Partnership Building?

Program ke-2 dalam Grand Strategy Polri (Renstra Polri 2005–2024) adalah Partnership Building (2010–2014). Tujuan utamanya:

Membangun kemitraan strategis antara Polri dan masyarakat.

Meningkatkan kepercayaan publik (public trust).

Menguatkan konsep community policing.

Membangun transparansi dan akuntabilitas Polri.

🔹 Capaian & Implementasi Program Partnership Building

Meskipun secara resmi fase ini berlangsung 2010–2014, prinsip dan nilai-nilainya terus menjadi fondasi operasional dan reformasi Polri hingga saat ini. Berikut beberapa indikator keberhasilannya:

✅ 1. Peningkatan Public Trust

Survei dari lembaga seperti LSI, Litbang Kompas, dan Indikator Politik menunjukkan tren peningkatan kepercayaan publik terhadap Polri dalam beberapa tahun terakhir, meskipun masih fluktuatif tergantung isu aktual.

Citra Polri membaik terutama dalam penanganan bencana, vaksinasi Covid-19, dan pengamanan pemilu.

✅ 2. Penguatan Community Policing

Polri aktif mengembangkan Bhabinkamtibmas sebagai ujung tombak kemitraan dengan masyarakat.

Kehadiran Polisi di tengah masyarakat makin intens, meskipun kualitas komunikasi dan responsivitas masih menjadi tantangan di beberapa daerah.

✅ 3. Keterbukaan Informasi dan Pelayanan Publik

Aplikasi digital seperti Propam Presisi, Dumas Presisi, SP2HP Online, dan e-Tilang menunjukkan arah menuju Polri yang lebih transparan dan partisipatif.

Peningkatan pelayanan publik seperti SKCK Online, SIM Online, dan Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) mencerminkan hasil dari penguatan kemitraan yang lebih responsif terhadap kebutuhan publik.

✅ 4. Kemitraan dengan Lembaga Eksternal

Kolaborasi dengan LSM, perguruan tinggi, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan media telah membaik secara bertahap.

Program seperti Polri Goes to Campus, Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM), dan Dialog Kamtibmas rutin dilakukan.

🔸 Tantangan yang Masih Dihadapi

Masih terdapat insiden yang merusak citra dan menggerus kepercayaan publik (misalnya kasus etik/kriminal anggota Polri).

Ketimpangan kualitas kemitraan antara pusat dan daerah.

Profesionalisme anggota di lapangan belum merata, berdampak pada kualitas komunikasi dengan masyarakat.

🔹 Kesimpulan: Apakah Partnership Building Berhasil?

✅ Ya, secara umum Program Partnership Building menunjukkan keberhasilan strategis. Program ini berhasil membentuk budaya baru dalam relasi Polri–masyarakat: dari sekadar “penegak hukum” menjadi “mitra masyarakat”. Namun, keberhasilannya belum sepenuhnya merata dan masih perlu konsistensi serta pengawasan berkelanjutan.

> Partnership Building bukan sekadar fase, tapi telah menjadi semangat yang hidup dalam Polri modern berbasis Presisi.


– – – – –

Baca Selengkapnya…

Pertanyaanmu sangat relevan dan strategis, terutama jika dilihat dari sudut pandang akademisi di lingkungan Akpol. Mari kita ulas secara kritis dan ringkas mengenai Program ke-2 Partnership Building dalam konteks Renstra Polri 2005–2024 dan implementasinya sejak 2010 hingga kini (2025).

🔹 Apa Itu Program Partnership Building?

Program ke-2 dalam Grand Strategy Polri (Renstra Polri 2005–2024) adalah Partnership Building (2010–2014). Tujuan utamanya:

Membangun kemitraan strategis antara Polri dan masyarakat.

Meningkatkan kepercayaan publik (public trust).

Menguatkan konsep community policing.

Membangun transparansi dan akuntabilitas Polri.

🔹 Capaian & Implementasi Program Partnership Building

Meskipun secara resmi fase ini berlangsung 2010–2014, prinsip dan nilai-nilainya terus menjadi fondasi operasional dan reformasi Polri hingga saat ini. Berikut beberapa indikator keberhasilannya:

✅ 1. Peningkatan Public Trust

Survei dari lembaga seperti LSI, Litbang Kompas, dan Indikator Politik menunjukkan tren peningkatan kepercayaan publik terhadap Polri dalam beberapa tahun terakhir, meskipun masih fluktuatif tergantung isu aktual.

Citra Polri membaik terutama dalam penanganan bencana, vaksinasi Covid-19, dan pengamanan pemilu.

✅ 2. Penguatan Community Policing

Polri aktif mengembangkan Bhabinkamtibmas sebagai ujung tombak kemitraan dengan masyarakat.

Kehadiran Polisi di tengah masyarakat makin intens, meskipun kualitas komunikasi dan responsivitas masih menjadi tantangan di beberapa daerah.

✅ 3. Keterbukaan Informasi dan Pelayanan Publik

Aplikasi digital seperti Propam Presisi, Dumas Presisi, SP2HP Online, dan e-Tilang menunjukkan arah menuju Polri yang lebih transparan dan partisipatif.

Peningkatan pelayanan publik seperti SKCK Online, SIM Online, dan Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) mencerminkan hasil dari penguatan kemitraan yang lebih responsif terhadap kebutuhan publik.

✅ 4. Kemitraan dengan Lembaga Eksternal

Kolaborasi dengan LSM, perguruan tinggi, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan media telah membaik secara bertahap.

Program seperti Polri Goes to Campus, Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM), dan Dialog Kamtibmas rutin dilakukan.

🔸 Tantangan yang Masih Dihadapi

Masih terdapat insiden yang merusak citra dan menggerus kepercayaan publik (misalnya kasus etik/kriminal anggota Polri).

Ketimpangan kualitas kemitraan antara pusat dan daerah.

Profesionalisme anggota di lapangan belum merata, berdampak pada kualitas komunikasi dengan masyarakat.

🔹 Kesimpulan: Apakah Partnership Building Berhasil?

✅ Ya, secara umum Program Partnership Building menunjukkan keberhasilan strategis. Program ini berhasil membentuk budaya baru dalam relasi Polri–masyarakat: dari sekadar “penegak hukum” menjadi “mitra masyarakat”. Namun, keberhasilannya belum sepenuhnya merata dan masih perlu konsistensi serta pengawasan berkelanjutan.

> Partnership Building bukan sekadar fase, tapi telah menjadi semangat yang hidup dalam Polri modern berbasis Presisi.


– – – – –

Baca Selengkapnya…

Pertanyaanmu sangat relevan dan strategis, terutama jika dilihat dari sudut pandang akademisi di lingkungan Akpol. Mari kita ulas secara kritis dan ringkas mengenai Program ke-2 Partnership Building dalam konteks Renstra Polri 2005–2024 dan implementasinya sejak 2010 hingga kini (2025).

🔹 Apa Itu Program Partnership Building?

Program ke-2 dalam Grand Strategy Polri (Renstra Polri 2005–2024) adalah Partnership Building (2010–2014). Tujuan utamanya:

Membangun kemitraan strategis antara Polri dan masyarakat.

Meningkatkan kepercayaan publik (public trust).

Menguatkan konsep community policing.

Membangun transparansi dan akuntabilitas Polri.

🔹 Capaian & Implementasi Program Partnership Building

Meskipun secara resmi fase ini berlangsung 2010–2014, prinsip dan nilai-nilainya terus menjadi fondasi operasional dan reformasi Polri hingga saat ini. Berikut beberapa indikator keberhasilannya:

✅ 1. Peningkatan Public Trust

Survei dari lembaga seperti LSI, Litbang Kompas, dan Indikator Politik menunjukkan tren peningkatan kepercayaan publik terhadap Polri dalam beberapa tahun terakhir, meskipun masih fluktuatif tergantung isu aktual.

Citra Polri membaik terutama dalam penanganan bencana, vaksinasi Covid-19, dan pengamanan pemilu.

✅ 2. Penguatan Community Policing

Polri aktif mengembangkan Bhabinkamtibmas sebagai ujung tombak kemitraan dengan masyarakat.

Kehadiran Polisi di tengah masyarakat makin intens, meskipun kualitas komunikasi dan responsivitas masih menjadi tantangan di beberapa daerah.

✅ 3. Keterbukaan Informasi dan Pelayanan Publik

Aplikasi digital seperti Propam Presisi, Dumas Presisi, SP2HP Online, dan e-Tilang menunjukkan arah menuju Polri yang lebih transparan dan partisipatif.

Peningkatan pelayanan publik seperti SKCK Online, SIM Online, dan Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) mencerminkan hasil dari penguatan kemitraan yang lebih responsif terhadap kebutuhan publik.

✅ 4. Kemitraan dengan Lembaga Eksternal

Kolaborasi dengan LSM, perguruan tinggi, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan media telah membaik secara bertahap.

Program seperti Polri Goes to Campus, Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM), dan Dialog Kamtibmas rutin dilakukan.

🔸 Tantangan yang Masih Dihadapi

Masih terdapat insiden yang merusak citra dan menggerus kepercayaan publik (misalnya kasus etik/kriminal anggota Polri).

Ketimpangan kualitas kemitraan antara pusat dan daerah.

Profesionalisme anggota di lapangan belum merata, berdampak pada kualitas komunikasi dengan masyarakat.

🔹 Kesimpulan: Apakah Partnership Building Berhasil?

✅ Ya, secara umum Program Partnership Building menunjukkan keberhasilan strategis. Program ini berhasil membentuk budaya baru dalam relasi Polri–masyarakat: dari sekadar “penegak hukum” menjadi “mitra masyarakat”. Namun, keberhasilannya belum sepenuhnya merata dan masih perlu konsistensi serta pengawasan berkelanjutan.

> Partnership Building bukan sekadar fase, tapi telah menjadi semangat yang hidup dalam Polri modern berbasis Presisi.








– – – – –

Baca Selengkapnya…

Pertanyaan yang sangat bagus lagi. Jepang memang dikenal sebagai salah satu negara dengan budaya tertib lalu lintas terbaik di dunia, dan keberhasilan itu bukan terjadi dalam semalam. Berikut adalah penjelasan bagaimana Jepang membangun budaya tertib berlalu lintas, yang bisa dijadikan model pembelajaran di Indonesia, khususnya di institusi seperti Akpol.

🇯🇵 Kunci Pembangunan Budaya Tertib Lalu Lintas di Jepang

1. 🚸 Pendidikan Lalu Lintas Sejak Dini

Anak-anak di Jepang sudah diajarkan etika berlalu lintas sejak TK dan SD.

Ada simulasi menyebrang jalan, penggunaan rambu, bahkan kunjungan ke kantor polisi untuk belajar tentang keselamatan lalu lintas.

Sekolah bekerjasama dengan kepolisian lokal untuk melakukan pelatihan keselamatan.

➡️ Hasilnya: Kepatuhan menjadi kebiasaan sejak kecil, bukan karena takut hukuman.

2. 🛂 Penegakan Hukum yang Konsisten dan Tidak Pandang Bulu

Polisi Jepang (Kōban) terkenal humanis tapi sangat tegas.

Pelanggaran kecil seperti parkir sembarangan, lampu merah, tidak pakai helm—tetap ditindak.

Sistem tilang otomatis dengan kamera (ETC & smart traffic systems) sangat efektif.

➡️ Hukum ditegakkan bukan untuk menghukum, tapi untuk mendidik dan memperbaiki perilaku.

3. 📋 Sistem Ujian SIM yang Ketat

Mendapatkan SIM di Jepang sangat sulit dan mahal. Ujian teori dan praktik sangat ketat.

Calon pengemudi harus benar-benar menguasai aturan, etika, dan teknik berkendara aman.

➡️ SIM bukan sekadar formalitas, tapi bukti kompetensi.

4. 👮‍♂️ Peran Polisi Komunitas (Kōban System)

Polisi Jepang ditempatkan di pos kecil dekat pemukiman (kōban).

Mereka berperan ganda sebagai penegak hukum dan pembina masyarakat.

Polisi aktif menyapa warga, mengingatkan aturan, dan membangun hubungan yang akrab.

➡️ Polisi tidak ditakuti, tapi dihormati dan dipercaya.

5. 🚶‍♂️ Fasilitas Jalan yang Ramah & Aman

Infrastruktur jalan sangat memperhatikan keselamatan pejalan kaki dan pesepeda.

2 Zebra cross dilengkapi suara untuk tunanetra, marka jalan jelas, lampu lalu lintas tepat waktu.

Trotoar dibuat lebar dan nyaman agar pejalan kaki tidak “dipaksa” ke jalan raya.

➡️ Infrastruktur mendukung budaya tertib.

6. 🤝 Budaya Malu dan Kolektif

Masyarakat Jepang punya budaya “tidak mau merepotkan orang lain” (meiwaku).

Pelanggaran lalu lintas bukan hanya soal hukum, tapi dianggap memalukan secara sosial.

Budaya kolektif membuat orang cenderung mengikuti aturan demi ketertiban bersama.

➡️ “Saya tertib bukan karena takut polisi, tapi karena ingin menghargai orang lain.”

📉 Hasil dari Sistem Ini:

Tingkat kematian akibat kecelakaan lalu lintas di Jepang terendah di dunia.

Pejalan kaki dan pengendara saling menghormati.

Pelanggaran lalu lintas menjadi pengecualian, bukan kebiasaan.

✍️ Kesimpulan dan Relevansi untuk Indonesia

Budaya tertib lalu lintas di Jepang dibentuk lewat:

Pendidikan sejak dini

Penegakan hukum yang konsisten

Infrastruktur yang mendukung

Keterlibatan polisi sebagai pembina masyarakat

Budaya sosial yang menjunjung tanggung jawab bersama

💡 Untuk Indonesia (dan Akpol), pelajaran dari Jepang adalah:

> “Bangun budaya tertib bukan dari rasa takut, tapi dari rasa tanggung jawab dan kebiasaan sosial.”

– – – – –

Baca Selengkapnya…

Kerugian yang ditanggung oleh negara Indonesia akibat pelanggaran lalu lintas dan kecelakaan di jalan raya setiap tahunnya sangat signifikan, baik dari sisi ekonomi maupun sosial.

💸 Estimasi Kerugian Ekonomi

1. Kerugian Materi Langsung

Menurut data Kementerian Perhubungan, kerugian materi akibat kecelakaan lalu lintas selama tahun 2020 hingga 2021 mencapai sekitar Rp246 miliar.

2. Kerugian Ekonomi Nasional

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menyatakan bahwa kerugian ekonomi nasional akibat kecelakaan lalu lintas diperkirakan mencapai 2,9% hingga 3,1% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

📊 Data Kecelakaan dan Dampaknya

Jumlah Kecelakaan

Pada tahun 2023, total angka kecelakaan lalu lintas di Indonesia tercatat mencapai 116.000 kasus, meningkat 6,8% dibandingkan tahun sebelumnya.

Korban Kecelakaan

Dari jumlah tersebut, korban kecelakaan menimpa 198.251 jiwa, dengan rincian 83% mengalami luka ringan, 10% meninggal dunia, dan 7% mengalami luka berat.

🚚 Kerugian Akibat Kendaraan ODOL

Korlantas Polri mencatat bahwa kerugian negara akibat kerusakan jalan yang disebabkan oleh kendaraan Over Dimension Over Load (ODOL) diperkirakan mencapai Rp43 triliun dalam kurun waktu 10 tahun.

🧾 Kesimpulan

Kerugian yang ditanggung oleh negara Indonesia akibat pelanggaran lalu lintas dan kecelakaan di jalan raya mencakup:

Kerugian materi langsung: sekitar Rp246 miliar per tahun.

Kerugian ekonomi nasional: diperkirakan mencapai 2,9% hingga 3,1% dari PDB.

Kerugian akibat kendaraan ODOL: sekitar Rp43 triliun dalam 10 tahun.

Data ini menunjukkan bahwa pelanggaran lalu lintas dan kecelakaan memiliki dampak ekonomi yang sangat besar bagi negara. Oleh karena itu, upaya peningkatan keselamatan dan kepatuhan terhadap peraturan lalu lintas sangat penting untuk mengurangi kerugian tersebut.

– – – – –

Baca Selengkapnya…

Pertanyaanmu sangat relevan dan strategis, terutama jika dilihat dari sudut pandang akademisi di lingkungan Akpol. Mari kita ulas secara kritis dan ringkas mengenai Program ke-2 Partnership Building dalam konteks Renstra Polri 2005–2024 dan implementasinya sejak 2010 hingga kini (2025).

🔹 Apa Itu Program Partnership Building?

Program ke-2 dalam Grand Strategy Polri (Renstra Polri 2005–2024) adalah Partnership Building (2010–2014). Tujuan utamanya:

Membangun kemitraan strategis antara Polri dan masyarakat.

Meningkatkan kepercayaan publik (public trust).

Menguatkan konsep community policing.

Membangun transparansi dan akuntabilitas Polri.

🔹 Capaian & Implementasi Program Partnership Building

Meskipun secara resmi fase ini berlangsung 2010–2014, prinsip dan nilai-nilainya terus menjadi fondasi operasional dan reformasi Polri hingga saat ini. Berikut beberapa indikator keberhasilannya:

✅ 1. Peningkatan Public Trust

Survei dari lembaga seperti LSI, Litbang Kompas, dan Indikator Politik menunjukkan tren peningkatan kepercayaan publik terhadap Polri dalam beberapa tahun terakhir, meskipun masih fluktuatif tergantung isu aktual.

Citra Polri membaik terutama dalam penanganan bencana, vaksinasi Covid-19, dan pengamanan pemilu.

✅ 2. Penguatan Community Policing

Polri aktif mengembangkan Bhabinkamtibmas sebagai ujung tombak kemitraan dengan masyarakat.

Kehadiran Polisi di tengah masyarakat makin intens, meskipun kualitas komunikasi dan responsivitas masih menjadi tantangan di beberapa daerah.

✅ 3. Keterbukaan Informasi dan Pelayanan Publik

Aplikasi digital seperti Propam Presisi, Dumas Presisi, SP2HP Online, dan e-Tilang menunjukkan arah menuju Polri yang lebih transparan dan partisipatif.

Peningkatan pelayanan publik seperti SKCK Online, SIM Online, dan Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) mencerminkan hasil dari penguatan kemitraan yang lebih responsif terhadap kebutuhan publik.

✅ 4. Kemitraan dengan Lembaga Eksternal

Kolaborasi dengan LSM, perguruan tinggi, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan media telah membaik secara bertahap.

Program seperti Polri Goes to Campus, Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM), dan Dialog Kamtibmas rutin dilakukan.

🔸 Tantangan yang Masih Dihadapi

Masih terdapat insiden yang merusak citra dan menggerus kepercayaan publik (misalnya kasus etik/kriminal anggota Polri).

Ketimpangan kualitas kemitraan antara pusat dan daerah.

Profesionalisme anggota di lapangan belum merata, berdampak pada kualitas komunikasi dengan masyarakat.

🔹 Kesimpulan: Apakah Partnership Building Berhasil?

✅ Ya, secara umum Program Partnership Building menunjukkan keberhasilan strategis. Program ini berhasil membentuk budaya baru dalam relasi Polri–masyarakat: dari sekadar “penegak hukum” menjadi “mitra masyarakat”. Namun, keberhasilannya belum sepenuhnya merata dan masih perlu konsistensi serta pengawasan berkelanjutan.

> Partnership Building bukan sekadar fase, tapi telah menjadi semangat yang hidup dalam Polri modern berbasis Presisi.

– – – – –

Baca Selengkapnya…

Pertanyaanmu sangat relevan dan strategis, terutama jika dilihat dari sudut pandang akademisi di lingkungan Akpol. Mari kita ulas secara kritis dan ringkas mengenai Program ke-2 Partnership Building dalam konteks Renstra Polri 2005–2024 dan implementasinya sejak 2010 hingga kini (2025).

🔹 Apa Itu Program Partnership Building?

Program ke-2 dalam Grand Strategy Polri (Renstra Polri 2005–2024) adalah Partnership Building (2010–2014). Tujuan utamanya:

Membangun kemitraan strategis antara Polri dan masyarakat.

Meningkatkan kepercayaan publik (public trust).

Menguatkan konsep community policing.

Membangun transparansi dan akuntabilitas Polri.

🔹 Capaian & Implementasi Program Partnership Building

Meskipun secara resmi fase ini berlangsung 2010–2014, prinsip dan nilai-nilainya terus menjadi fondasi operasional dan reformasi Polri hingga saat ini. Berikut beberapa indikator keberhasilannya:

✅ 1. Peningkatan Public Trust

Survei dari lembaga seperti LSI, Litbang Kompas, dan Indikator Politik menunjukkan tren peningkatan kepercayaan publik terhadap Polri dalam beberapa tahun terakhir, meskipun masih fluktuatif tergantung isu aktual.

Citra Polri membaik terutama dalam penanganan bencana, vaksinasi Covid-19, dan pengamanan pemilu.

✅ 2. Penguatan Community Policing

Polri aktif mengembangkan Bhabinkamtibmas sebagai ujung tombak kemitraan dengan masyarakat.

Kehadiran Polisi di tengah masyarakat makin intens, meskipun kualitas komunikasi dan responsivitas masih menjadi tantangan di beberapa daerah.

✅ 3. Keterbukaan Informasi dan Pelayanan Publik

Aplikasi digital seperti Propam Presisi, Dumas Presisi, SP2HP Online, dan e-Tilang menunjukkan arah menuju Polri yang lebih transparan dan partisipatif.

Peningkatan pelayanan publik seperti SKCK Online, SIM Online, dan Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) mencerminkan hasil dari penguatan kemitraan yang lebih responsif terhadap kebutuhan publik.

✅ 4. Kemitraan dengan Lembaga Eksternal

Kolaborasi dengan LSM, perguruan tinggi, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan media telah membaik secara bertahap.

Program seperti Polri Goes to Campus, Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM), dan Dialog Kamtibmas rutin dilakukan.

🔸 Tantangan yang Masih Dihadapi

Masih terdapat insiden yang merusak citra dan menggerus kepercayaan publik (misalnya kasus etik/kriminal anggota Polri).

Ketimpangan kualitas kemitraan antara pusat dan daerah.

Profesionalisme anggota di lapangan belum merata, berdampak pada kualitas komunikasi dengan masyarakat.

🔹 Kesimpulan: Apakah Partnership Building Berhasil?

✅ Ya, secara umum Program Partnership Building menunjukkan keberhasilan strategis. Program ini berhasil membentuk budaya baru dalam relasi Polri–masyarakat: dari sekadar “penegak hukum” menjadi “mitra masyarakat”. Namun, keberhasilannya belum sepenuhnya merata dan masih perlu konsistensi serta pengawasan berkelanjutan.

> Partnership Building bukan sekadar fase, tapi telah menjadi semangat yang hidup dalam Polri modern berbasis Presisi.

– – – – –

Baca Selengkapnya…

Pertanyaanmu sangat relevan dan strategis, terutama jika dilihat dari sudut pandang akademisi di lingkungan Akpol. Mari kita ulas secara kritis dan ringkas mengenai Program ke-2 Partnership Building dalam konteks Renstra Polri 2005–2024 dan implementasinya sejak 2010 hingga kini (2025).

🔹 Apa Itu Program Partnership Building?

Program ke-2 dalam Grand Strategy Polri (Renstra Polri 2005–2024) adalah Partnership Building (2010–2014). Tujuan utamanya:

Membangun kemitraan strategis antara Polri dan masyarakat.

Meningkatkan kepercayaan publik (public trust).

Menguatkan konsep community policing.

Membangun transparansi dan akuntabilitas Polri.

🔹 Capaian & Implementasi Program Partnership Building

Meskipun secara resmi fase ini berlangsung 2010–2014, prinsip dan nilai-nilainya terus menjadi fondasi operasional dan reformasi Polri hingga saat ini. Berikut beberapa indikator keberhasilannya:

✅ 1. Peningkatan Public Trust

Survei dari lembaga seperti LSI, Litbang Kompas, dan Indikator Politik menunjukkan tren peningkatan kepercayaan publik terhadap Polri dalam beberapa tahun terakhir, meskipun masih fluktuatif tergantung isu aktual.

Citra Polri membaik terutama dalam penanganan bencana, vaksinasi Covid-19, dan pengamanan pemilu.

✅ 2. Penguatan Community Policing

Polri aktif mengembangkan Bhabinkamtibmas sebagai ujung tombak kemitraan dengan masyarakat.

Kehadiran Polisi di tengah masyarakat makin intens, meskipun kualitas komunikasi dan responsivitas masih menjadi tantangan di beberapa daerah.

✅ 3. Keterbukaan Informasi dan Pelayanan Publik

Aplikasi digital seperti Propam Presisi, Dumas Presisi, SP2HP Online, dan e-Tilang menunjukkan arah menuju Polri yang lebih transparan dan partisipatif.

Peningkatan pelayanan publik seperti SKCK Online, SIM Online, dan Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) mencerminkan hasil dari penguatan kemitraan yang lebih responsif terhadap kebutuhan publik.

✅ 4. Kemitraan dengan Lembaga Eksternal

Kolaborasi dengan LSM, perguruan tinggi, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan media telah membaik secara bertahap.

Program seperti Polri Goes to Campus, Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM), dan Dialog Kamtibmas rutin dilakukan.

🔸 Tantangan yang Masih Dihadapi

Masih terdapat insiden yang merusak citra dan menggerus kepercayaan publik (misalnya kasus etik/kriminal anggota Polri).

Ketimpangan kualitas kemitraan antara pusat dan daerah.

Profesionalisme anggota di lapangan belum merata, berdampak pada kualitas komunikasi dengan masyarakat.

🔹 Kesimpulan: Apakah Partnership Building Berhasil?

✅ Ya, secara umum Program Partnership Building menunjukkan keberhasilan strategis. Program ini berhasil membentuk budaya baru dalam relasi Polri–masyarakat: dari sekadar “penegak hukum” menjadi “mitra masyarakat”. Namun, keberhasilannya belum sepenuhnya merata dan masih perlu konsistensi serta pengawasan berkelanjutan.

> Partnership Building bukan sekadar fase, tapi telah menjadi semangat yang hidup dalam Polri modern berbasis Presisi.

– – – – –

Baca Selengkapnya…

Pertanyaanmu sangat relevan dan strategis, terutama jika dilihat dari sudut pandang akademisi di lingkungan Akpol. Mari kita ulas secara kritis dan ringkas mengenai Program ke-2 Partnership Building dalam konteks Renstra Polri 2005–2024 dan implementasinya sejak 2010 hingga kini (2025).

🔹 Apa Itu Program Partnership Building?

Program ke-2 dalam Grand Strategy Polri (Renstra Polri 2005–2024) adalah Partnership Building (2010–2014). Tujuan utamanya:

Membangun kemitraan strategis antara Polri dan masyarakat.

Meningkatkan kepercayaan publik (public trust).

Menguatkan konsep community policing.

Membangun transparansi dan akuntabilitas Polri.

🔹 Capaian & Implementasi Program Partnership Building

Meskipun secara resmi fase ini berlangsung 2010–2014, prinsip dan nilai-nilainya terus menjadi fondasi operasional dan reformasi Polri hingga saat ini. Berikut beberapa indikator keberhasilannya:

✅ 1. Peningkatan Public Trust

Survei dari lembaga seperti LSI, Litbang Kompas, dan Indikator Politik menunjukkan tren peningkatan kepercayaan publik terhadap Polri dalam beberapa tahun terakhir, meskipun masih fluktuatif tergantung isu aktual.

Citra Polri membaik terutama dalam penanganan bencana, vaksinasi Covid-19, dan pengamanan pemilu.

✅ 2. Penguatan Community Policing

Polri aktif mengembangkan Bhabinkamtibmas sebagai ujung tombak kemitraan dengan masyarakat.

Kehadiran Polisi di tengah masyarakat makin intens, meskipun kualitas komunikasi dan responsivitas masih menjadi tantangan di beberapa daerah.

✅ 3. Keterbukaan Informasi dan Pelayanan Publik

Aplikasi digital seperti Propam Presisi, Dumas Presisi, SP2HP Online, dan e-Tilang menunjukkan arah menuju Polri yang lebih transparan dan partisipatif.

Peningkatan pelayanan publik seperti SKCK Online, SIM Online, dan Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) mencerminkan hasil dari penguatan kemitraan yang lebih responsif terhadap kebutuhan publik.

✅ 4. Kemitraan dengan Lembaga Eksternal

Kolaborasi dengan LSM, perguruan tinggi, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan media telah membaik secara bertahap.

Program seperti Polri Goes to Campus, Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM), dan Dialog Kamtibmas rutin dilakukan.

🔸 Tantangan yang Masih Dihadapi

Masih terdapat insiden yang merusak citra dan menggerus kepercayaan publik (misalnya kasus etik/kriminal anggota Polri).

Ketimpangan kualitas kemitraan antara pusat dan daerah.

Profesionalisme anggota di lapangan belum merata, berdampak pada kualitas komunikasi dengan masyarakat.

🔹 Kesimpulan: Apakah Partnership Building Berhasil?

✅ Ya, secara umum Program Partnership Building menunjukkan keberhasilan strategis. Program ini berhasil membentuk budaya baru dalam relasi Polri–masyarakat: dari sekadar “penegak hukum” menjadi “mitra masyarakat”. Namun, keberhasilannya belum sepenuhnya merata dan masih perlu konsistensi serta pengawasan berkelanjutan.

> Partnership Building bukan sekadar fase, tapi telah menjadi semangat yang hidup dalam Polri modern berbasis Presisi.

– – – – –

Baca Selengkapnya…

Pertanyaanmu sangat relevan dan strategis, terutama jika dilihat dari sudut pandang akademisi di lingkungan Akpol. Mari kita ulas secara kritis dan ringkas mengenai Program ke-2 Partnership Building dalam konteks Renstra Polri 2005–2024 dan implementasinya sejak 2010 hingga kini (2025).

🔹 Apa Itu Program Partnership Building?

Program ke-2 dalam Grand Strategy Polri (Renstra Polri 2005–2024) adalah Partnership Building (2010–2014). Tujuan utamanya:

Membangun kemitraan strategis antara Polri dan masyarakat.

Meningkatkan kepercayaan publik (public trust).

Menguatkan konsep community policing.

Membangun transparansi dan akuntabilitas Polri.

🔹 Capaian & Implementasi Program Partnership Building

Meskipun secara resmi fase ini berlangsung 2010–2014, prinsip dan nilai-nilainya terus menjadi fondasi operasional dan reformasi Polri hingga saat ini. Berikut beberapa indikator keberhasilannya:

✅ 1. Peningkatan Public Trust

Survei dari lembaga seperti LSI, Litbang Kompas, dan Indikator Politik menunjukkan tren peningkatan kepercayaan publik terhadap Polri dalam beberapa tahun terakhir, meskipun masih fluktuatif tergantung isu aktual.

Citra Polri membaik terutama dalam penanganan bencana, vaksinasi Covid-19, dan pengamanan pemilu.

✅ 2. Penguatan Community Policing

Polri aktif mengembangkan Bhabinkamtibmas sebagai ujung tombak kemitraan dengan masyarakat.

Kehadiran Polisi di tengah masyarakat makin intens, meskipun kualitas komunikasi dan responsivitas masih menjadi tantangan di beberapa daerah.

✅ 3. Keterbukaan Informasi dan Pelayanan Publik

Aplikasi digital seperti Propam Presisi, Dumas Presisi, SP2HP Online, dan e-Tilang menunjukkan arah menuju Polri yang lebih transparan dan partisipatif.

Peningkatan pelayanan publik seperti SKCK Online, SIM Online, dan Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) mencerminkan hasil dari penguatan kemitraan yang lebih responsif terhadap kebutuhan publik.

✅ 4. Kemitraan dengan Lembaga Eksternal

Kolaborasi dengan LSM, perguruan tinggi, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan media telah membaik secara bertahap.

Program seperti Polri Goes to Campus, Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM), dan Dialog Kamtibmas rutin dilakukan.

🔸 Tantangan yang Masih Dihadapi

Masih terdapat insiden yang merusak citra dan menggerus kepercayaan publik (misalnya kasus etik/kriminal anggota Polri).

Ketimpangan kualitas kemitraan antara pusat dan daerah.

Profesionalisme anggota di lapangan belum merata, berdampak pada kualitas komunikasi dengan masyarakat.

🔹 Kesimpulan: Apakah Partnership Building Berhasil?

✅ Ya, secara umum Program Partnership Building menunjukkan keberhasilan strategis. Program ini berhasil membentuk budaya baru dalam relasi Polri–masyarakat: dari sekadar “penegak hukum” menjadi “mitra masyarakat”. Namun, keberhasilannya belum sepenuhnya merata dan masih perlu konsistensi serta pengawasan berkelanjutan.

> Partnership Building bukan sekadar fase, tapi telah menjadi semangat yang hidup dalam Polri modern berbasis Presisi.


– – – – –

Baca Selengkapnya…

Pertanyaanmu sangat relevan dan strategis, terutama jika dilihat dari sudut pandang akademisi di lingkungan Akpol. Mari kita ulas secara kritis dan ringkas mengenai Program ke-2 Partnership Building dalam konteks Renstra Polri 2005–2024 dan implementasinya sejak 2010 hingga kini (2025).

🔹 Apa Itu Program Partnership Building?

Program ke-2 dalam Grand Strategy Polri (Renstra Polri 2005–2024) adalah Partnership Building (2010–2014). Tujuan utamanya:

Membangun kemitraan strategis antara Polri dan masyarakat.

Meningkatkan kepercayaan publik (public trust).

Menguatkan konsep community policing.

Membangun transparansi dan akuntabilitas Polri.

🔹 Capaian & Implementasi Program Partnership Building

Meskipun secara resmi fase ini berlangsung 2010–2014, prinsip dan nilai-nilainya terus menjadi fondasi operasional dan reformasi Polri hingga saat ini. Berikut beberapa indikator keberhasilannya:

✅ 1. Peningkatan Public Trust

Survei dari lembaga seperti LSI, Litbang Kompas, dan Indikator Politik menunjukkan tren peningkatan kepercayaan publik terhadap Polri dalam beberapa tahun terakhir, meskipun masih fluktuatif tergantung isu aktual.

Citra Polri membaik terutama dalam penanganan bencana, vaksinasi Covid-19, dan pengamanan pemilu.

✅ 2. Penguatan Community Policing

Polri aktif mengembangkan Bhabinkamtibmas sebagai ujung tombak kemitraan dengan masyarakat.

Kehadiran Polisi di tengah masyarakat makin intens, meskipun kualitas komunikasi dan responsivitas masih menjadi tantangan di beberapa daerah.

✅ 3. Keterbukaan Informasi dan Pelayanan Publik

Aplikasi digital seperti Propam Presisi, Dumas Presisi, SP2HP Online, dan e-Tilang menunjukkan arah menuju Polri yang lebih transparan dan partisipatif.

Peningkatan pelayanan publik seperti SKCK Online, SIM Online, dan Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) mencerminkan hasil dari penguatan kemitraan yang lebih responsif terhadap kebutuhan publik.

✅ 4. Kemitraan dengan Lembaga Eksternal

Kolaborasi dengan LSM, perguruan tinggi, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan media telah membaik secara bertahap.

Program seperti Polri Goes to Campus, Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM), dan Dialog Kamtibmas rutin dilakukan.

🔸 Tantangan yang Masih Dihadapi

Masih terdapat insiden yang merusak citra dan menggerus kepercayaan publik (misalnya kasus etik/kriminal anggota Polri).

Ketimpangan kualitas kemitraan antara pusat dan daerah.

Profesionalisme anggota di lapangan belum merata, berdampak pada kualitas komunikasi dengan masyarakat.

🔹 Kesimpulan: Apakah Partnership Building Berhasil?

✅ Ya, secara umum Program Partnership Building menunjukkan keberhasilan strategis. Program ini berhasil membentuk budaya baru dalam relasi Polri–masyarakat: dari sekadar “penegak hukum” menjadi “mitra masyarakat”. Namun, keberhasilannya belum sepenuhnya merata dan masih perlu konsistensi serta pengawasan berkelanjutan.

> Partnership Building bukan sekadar fase, tapi telah menjadi semangat yang hidup dalam Polri modern berbasis Presisi.


– – – – –

Baca Selengkapnya…

Pertanyaanmu sangat relevan dan strategis, terutama jika dilihat dari sudut pandang akademisi di lingkungan Akpol. Mari kita ulas secara kritis dan ringkas mengenai Program ke-2 Partnership Building dalam konteks Renstra Polri 2005–2024 dan implementasinya sejak 2010 hingga kini (2025).

🔹 Apa Itu Program Partnership Building?

Program ke-2 dalam Grand Strategy Polri (Renstra Polri 2005–2024) adalah Partnership Building (2010–2014). Tujuan utamanya:

Membangun kemitraan strategis antara Polri dan masyarakat.

Meningkatkan kepercayaan publik (public trust).

Menguatkan konsep community policing.

Membangun transparansi dan akuntabilitas Polri.

🔹 Capaian & Implementasi Program Partnership Building

Meskipun secara resmi fase ini berlangsung 2010–2014, prinsip dan nilai-nilainya terus menjadi fondasi operasional dan reformasi Polri hingga saat ini. Berikut beberapa indikator keberhasilannya:

✅ 1. Peningkatan Public Trust

Survei dari lembaga seperti LSI, Litbang Kompas, dan Indikator Politik menunjukkan tren peningkatan kepercayaan publik terhadap Polri dalam beberapa tahun terakhir, meskipun masih fluktuatif tergantung isu aktual.

Citra Polri membaik terutama dalam penanganan bencana, vaksinasi Covid-19, dan pengamanan pemilu.

✅ 2. Penguatan Community Policing

Polri aktif mengembangkan Bhabinkamtibmas sebagai ujung tombak kemitraan dengan masyarakat.

Kehadiran Polisi di tengah masyarakat makin intens, meskipun kualitas komunikasi dan responsivitas masih menjadi tantangan di beberapa daerah.

✅ 3. Keterbukaan Informasi dan Pelayanan Publik

Aplikasi digital seperti Propam Presisi, Dumas Presisi, SP2HP Online, dan e-Tilang menunjukkan arah menuju Polri yang lebih transparan dan partisipatif.

Peningkatan pelayanan publik seperti SKCK Online, SIM Online, dan Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) mencerminkan hasil dari penguatan kemitraan yang lebih responsif terhadap kebutuhan publik.

✅ 4. Kemitraan dengan Lembaga Eksternal

Kolaborasi dengan LSM, perguruan tinggi, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan media telah membaik secara bertahap.

Program seperti Polri Goes to Campus, Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM), dan Dialog Kamtibmas rutin dilakukan.

🔸 Tantangan yang Masih Dihadapi

Masih terdapat insiden yang merusak citra dan menggerus kepercayaan publik (misalnya kasus etik/kriminal anggota Polri).

Ketimpangan kualitas kemitraan antara pusat dan daerah.

Profesionalisme anggota di lapangan belum merata, berdampak pada kualitas komunikasi dengan masyarakat.

🔹 Kesimpulan: Apakah Partnership Building Berhasil?

✅ Ya, secara umum Program Partnership Building menunjukkan keberhasilan strategis. Program ini berhasil membentuk budaya baru dalam relasi Polri–masyarakat: dari sekadar “penegak hukum” menjadi “mitra masyarakat”. Namun, keberhasilannya belum sepenuhnya merata dan masih perlu konsistensi serta pengawasan berkelanjutan.

> Partnership Building bukan sekadar fase, tapi telah menjadi semangat yang hidup dalam Polri modern berbasis Presisi.


– – – – –

Baca Selengkapnya…

Pertanyaanmu sangat relevan dan strategis, terutama jika dilihat dari sudut pandang akademisi di lingkungan Akpol. Mari kita ulas secara kritis dan ringkas mengenai Program ke-2 Partnership Building dalam konteks Renstra Polri 2005–2024 dan implementasinya sejak 2010 hingga kini (2025).

🔹 Apa Itu Program Partnership Building?

Program ke-2 dalam Grand Strategy Polri (Renstra Polri 2005–2024) adalah Partnership Building (2010–2014). Tujuan utamanya:

Membangun kemitraan strategis antara Polri dan masyarakat.

Meningkatkan kepercayaan publik (public trust).

Menguatkan konsep community policing.

Membangun transparansi dan akuntabilitas Polri.

🔹 Capaian & Implementasi Program Partnership Building

Meskipun secara resmi fase ini berlangsung 2010–2014, prinsip dan nilai-nilainya terus menjadi fondasi operasional dan reformasi Polri hingga saat ini. Berikut beberapa indikator keberhasilannya:

✅ 1. Peningkatan Public Trust

Survei dari lembaga seperti LSI, Litbang Kompas, dan Indikator Politik menunjukkan tren peningkatan kepercayaan publik terhadap Polri dalam beberapa tahun terakhir, meskipun masih fluktuatif tergantung isu aktual.

Citra Polri membaik terutama dalam penanganan bencana, vaksinasi Covid-19, dan pengamanan pemilu.

✅ 2. Penguatan Community Policing

Polri aktif mengembangkan Bhabinkamtibmas sebagai ujung tombak kemitraan dengan masyarakat.

Kehadiran Polisi di tengah masyarakat makin intens, meskipun kualitas komunikasi dan responsivitas masih menjadi tantangan di beberapa daerah.

✅ 3. Keterbukaan Informasi dan Pelayanan Publik

Aplikasi digital seperti Propam Presisi, Dumas Presisi, SP2HP Online, dan e-Tilang menunjukkan arah menuju Polri yang lebih transparan dan partisipatif.

Peningkatan pelayanan publik seperti SKCK Online, SIM Online, dan Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) mencerminkan hasil dari penguatan kemitraan yang lebih responsif terhadap kebutuhan publik.

✅ 4. Kemitraan dengan Lembaga Eksternal

Kolaborasi dengan LSM, perguruan tinggi, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan media telah membaik secara bertahap.

Program seperti Polri Goes to Campus, Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM), dan Dialog Kamtibmas rutin dilakukan.

🔸 Tantangan yang Masih Dihadapi

Masih terdapat insiden yang merusak citra dan menggerus kepercayaan publik (misalnya kasus etik/kriminal anggota Polri).

Ketimpangan kualitas kemitraan antara pusat dan daerah.

Profesionalisme anggota di lapangan belum merata, berdampak pada kualitas komunikasi dengan masyarakat.

🔹 Kesimpulan: Apakah Partnership Building Berhasil?

✅ Ya, secara umum Program Partnership Building menunjukkan keberhasilan strategis. Program ini berhasil membentuk budaya baru dalam relasi Polri–masyarakat: dari sekadar “penegak hukum” menjadi “mitra masyarakat”. Namun, keberhasilannya belum sepenuhnya merata dan masih perlu konsistensi serta pengawasan berkelanjutan.

> Partnership Building bukan sekadar fase, tapi telah menjadi semangat yang hidup dalam Polri modern berbasis Presisi.

– – – – –

Baca Selengkapnya…

Pertanyaanmu sangat relevan dan strategis, terutama jika dilihat dari sudut pandang akademisi di lingkungan Akpol. Mari kita ulas secara kritis dan ringkas mengenai Program ke-2 Partnership Building dalam konteks Renstra Polri 2005–2024 dan implementasinya sejak 2010 hingga kini (2025).

🔹 Apa Itu Program Partnership Building?

Program ke-2 dalam Grand Strategy Polri (Renstra Polri 2005–2024) adalah Partnership Building (2010–2014). Tujuan utamanya:

Membangun kemitraan strategis antara Polri dan masyarakat.

Meningkatkan kepercayaan publik (public trust).

Menguatkan konsep community policing.

Membangun transparansi dan akuntabilitas Polri.

🔹 Capaian & Implementasi Program Partnership Building

Meskipun secara resmi fase ini berlangsung 2010–2014, prinsip dan nilai-nilainya terus menjadi fondasi operasional dan reformasi Polri hingga saat ini. Berikut beberapa indikator keberhasilannya:

✅ 1. Peningkatan Public Trust

Survei dari lembaga seperti LSI, Litbang Kompas, dan Indikator Politik menunjukkan tren peningkatan kepercayaan publik terhadap Polri dalam beberapa tahun terakhir, meskipun masih fluktuatif tergantung isu aktual.

Citra Polri membaik terutama dalam penanganan bencana, vaksinasi Covid-19, dan pengamanan pemilu.

✅ 2. Penguatan Community Policing

Polri aktif mengembangkan Bhabinkamtibmas sebagai ujung tombak kemitraan dengan masyarakat.

Kehadiran Polisi di tengah masyarakat makin intens, meskipun kualitas komunikasi dan responsivitas masih menjadi tantangan di beberapa daerah.

✅ 3. Keterbukaan Informasi dan Pelayanan Publik

Aplikasi digital seperti Propam Presisi, Dumas Presisi, SP2HP Online, dan e-Tilang menunjukkan arah menuju Polri yang lebih transparan dan partisipatif.

Peningkatan pelayanan publik seperti SKCK Online, SIM Online, dan Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) mencerminkan hasil dari penguatan kemitraan yang lebih responsif terhadap kebutuhan publik.

✅ 4. Kemitraan dengan Lembaga Eksternal

Kolaborasi dengan LSM, perguruan tinggi, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan media telah membaik secara bertahap.

Program seperti Polri Goes to Campus, Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM), dan Dialog Kamtibmas rutin dilakukan.

🔸 Tantangan yang Masih Dihadapi

Masih terdapat insiden yang merusak citra dan menggerus kepercayaan publik (misalnya kasus etik/kriminal anggota Polri).

Ketimpangan kualitas kemitraan antara pusat dan daerah.

Profesionalisme anggota di lapangan belum merata, berdampak pada kualitas komunikasi dengan masyarakat.

🔹 Kesimpulan: Apakah Partnership Building Berhasil?

✅ Ya, secara umum Program Partnership Building menunjukkan keberhasilan strategis. Program ini berhasil membentuk budaya baru dalam relasi Polri–masyarakat: dari sekadar “penegak hukum” menjadi “mitra masyarakat”. Namun, keberhasilannya belum sepenuhnya merata dan masih perlu konsistensi serta pengawasan berkelanjutan.

> Partnership Building bukan sekadar fase, tapi telah menjadi semangat yang hidup dalam Polri modern berbasis Presisi.


– – – – –

Baca Selengkapnya…

Pertanyaanmu sangat relevan dan strategis, terutama jika dilihat dari sudut pandang akademisi di lingkungan Akpol. Mari kita ulas secara kritis dan ringkas mengenai Program ke-2 Partnership Building dalam konteks Renstra Polri 2005–2024 dan implementasinya sejak 2010 hingga kini (2025).

🔹 Apa Itu Program Partnership Building?

Program ke-2 dalam Grand Strategy Polri (Renstra Polri 2005–2024) adalah Partnership Building (2010–2014). Tujuan utamanya:

Membangun kemitraan strategis antara Polri dan masyarakat.

Meningkatkan kepercayaan publik (public trust).

Menguatkan konsep community policing.

Membangun transparansi dan akuntabilitas Polri.

🔹 Capaian & Implementasi Program Partnership Building

Meskipun secara resmi fase ini berlangsung 2010–2014, prinsip dan nilai-nilainya terus menjadi fondasi operasional dan reformasi Polri hingga saat ini. Berikut beberapa indikator keberhasilannya:

✅ 1. Peningkatan Public Trust

Survei dari lembaga seperti LSI, Litbang Kompas, dan Indikator Politik menunjukkan tren peningkatan kepercayaan publik terhadap Polri dalam beberapa tahun terakhir, meskipun masih fluktuatif tergantung isu aktual.

Citra Polri membaik terutama dalam penanganan bencana, vaksinasi Covid-19, dan pengamanan pemilu.

✅ 2. Penguatan Community Policing

Polri aktif mengembangkan Bhabinkamtibmas sebagai ujung tombak kemitraan dengan masyarakat.

Kehadiran Polisi di tengah masyarakat makin intens, meskipun kualitas komunikasi dan responsivitas masih menjadi tantangan di beberapa daerah.

✅ 3. Keterbukaan Informasi dan Pelayanan Publik

Aplikasi digital seperti Propam Presisi, Dumas Presisi, SP2HP Online, dan e-Tilang menunjukkan arah menuju Polri yang lebih transparan dan partisipatif.

Peningkatan pelayanan publik seperti SKCK Online, SIM Online, dan Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) mencerminkan hasil dari penguatan kemitraan yang lebih responsif terhadap kebutuhan publik.

✅ 4. Kemitraan dengan Lembaga Eksternal

Kolaborasi dengan LSM, perguruan tinggi, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan media telah membaik secara bertahap.

Program seperti Polri Goes to Campus, Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM), dan Dialog Kamtibmas rutin dilakukan.

🔸 Tantangan yang Masih Dihadapi

Masih terdapat insiden yang merusak citra dan menggerus kepercayaan publik (misalnya kasus etik/kriminal anggota Polri).

Ketimpangan kualitas kemitraan antara pusat dan daerah.

Profesionalisme anggota di lapangan belum merata, berdampak pada kualitas komunikasi dengan masyarakat.

🔹 Kesimpulan: Apakah Partnership Building Berhasil?

✅ Ya, secara umum Program Partnership Building menunjukkan keberhasilan strategis. Program ini berhasil membentuk budaya baru dalam relasi Polri–masyarakat: dari sekadar “penegak hukum” menjadi “mitra masyarakat”. Namun, keberhasilannya belum sepenuhnya merata dan masih perlu konsistensi serta pengawasan berkelanjutan.

> Partnership Building bukan sekadar fase, tapi telah menjadi semangat yang hidup dalam Polri modern berbasis Presisi.

– – – – –

Baca Selengkapnya…

Pertanyaanmu sangat relevan dan strategis, terutama jika dilihat dari sudut pandang akademisi di lingkungan Akpol. Mari kita ulas secara kritis dan ringkas mengenai Program ke-2 Partnership Building dalam konteks Renstra Polri 2005–2024 dan implementasinya sejak 2010 hingga kini (2025).

🔹 Apa Itu Program Partnership Building?

Program ke-2 dalam Grand Strategy Polri (Renstra Polri 2005–2024) adalah Partnership Building (2010–2014). Tujuan utamanya:

Membangun kemitraan strategis antara Polri dan masyarakat.

Meningkatkan kepercayaan publik (public trust).

Menguatkan konsep community policing.

Membangun transparansi dan akuntabilitas Polri.

🔹 Capaian & Implementasi Program Partnership Building

Meskipun secara resmi fase ini berlangsung 2010–2014, prinsip dan nilai-nilainya terus menjadi fondasi operasional dan reformasi Polri hingga saat ini. Berikut beberapa indikator keberhasilannya:

✅ 1. Peningkatan Public Trust

Survei dari lembaga seperti LSI, Litbang Kompas, dan Indikator Politik menunjukkan tren peningkatan kepercayaan publik terhadap Polri dalam beberapa tahun terakhir, meskipun masih fluktuatif tergantung isu aktual.

Citra Polri membaik terutama dalam penanganan bencana, vaksinasi Covid-19, dan pengamanan pemilu.

✅ 2. Penguatan Community Policing

Polri aktif mengembangkan Bhabinkamtibmas sebagai ujung tombak kemitraan dengan masyarakat.

Kehadiran Polisi di tengah masyarakat makin intens, meskipun kualitas komunikasi dan responsivitas masih menjadi tantangan di beberapa daerah.

✅ 3. Keterbukaan Informasi dan Pelayanan Publik

Aplikasi digital seperti Propam Presisi, Dumas Presisi, SP2HP Online, dan e-Tilang menunjukkan arah menuju Polri yang lebih transparan dan partisipatif.

Peningkatan pelayanan publik seperti SKCK Online, SIM Online, dan Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) mencerminkan hasil dari penguatan kemitraan yang lebih responsif terhadap kebutuhan publik.

✅ 4. Kemitraan dengan Lembaga Eksternal

Kolaborasi dengan LSM, perguruan tinggi, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan media telah membaik secara bertahap.

Program seperti Polri Goes to Campus, Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM), dan Dialog Kamtibmas rutin dilakukan.

🔸 Tantangan yang Masih Dihadapi

Masih terdapat insiden yang merusak citra dan menggerus kepercayaan publik (misalnya kasus etik/kriminal anggota Polri).

Ketimpangan kualitas kemitraan antara pusat dan daerah.

Profesionalisme anggota di lapangan belum merata, berdampak pada kualitas komunikasi dengan masyarakat.

🔹 Kesimpulan: Apakah Partnership Building Berhasil?

✅ Ya, secara umum Program Partnership Building menunjukkan keberhasilan strategis. Program ini berhasil membentuk budaya baru dalam relasi Polri–masyarakat: dari sekadar “penegak hukum” menjadi “mitra masyarakat”. Namun, keberhasilannya belum sepenuhnya merata dan masih perlu konsistensi serta pengawasan berkelanjutan.

> Partnership Building bukan sekadar fase, tapi telah menjadi semangat yang hidup dalam Polri modern berbasis Presisi.


– – – – –

Baca Selengkapnya…

Pertanyaanmu sangat relevan dan strategis, terutama jika dilihat dari sudut pandang akademisi di lingkungan Akpol. Mari kita ulas secara kritis dan ringkas mengenai Program ke-2 Partnership Building dalam konteks Renstra Polri 2005–2024 dan implementasinya sejak 2010 hingga kini (2025).

🔹 Apa Itu Program Partnership Building?

Program ke-2 dalam Grand Strategy Polri (Renstra Polri 2005–2024) adalah Partnership Building (2010–2014). Tujuan utamanya:

Membangun kemitraan strategis antara Polri dan masyarakat.

Meningkatkan kepercayaan publik (public trust).

Menguatkan konsep community policing.

Membangun transparansi dan akuntabilitas Polri.

🔹 Capaian & Implementasi Program Partnership Building

Meskipun secara resmi fase ini berlangsung 2010–2014, prinsip dan nilai-nilainya terus menjadi fondasi operasional dan reformasi Polri hingga saat ini. Berikut beberapa indikator keberhasilannya:

✅ 1. Peningkatan Public Trust

Survei dari lembaga seperti LSI, Litbang Kompas, dan Indikator Politik menunjukkan tren peningkatan kepercayaan publik terhadap Polri dalam beberapa tahun terakhir, meskipun masih fluktuatif tergantung isu aktual.

Citra Polri membaik terutama dalam penanganan bencana, vaksinasi Covid-19, dan pengamanan pemilu.

✅ 2. Penguatan Community Policing

Polri aktif mengembangkan Bhabinkamtibmas sebagai ujung tombak kemitraan dengan masyarakat.

Kehadiran Polisi di tengah masyarakat makin intens, meskipun kualitas komunikasi dan responsivitas masih menjadi tantangan di beberapa daerah.

✅ 3. Keterbukaan Informasi dan Pelayanan Publik

Aplikasi digital seperti Propam Presisi, Dumas Presisi, SP2HP Online, dan e-Tilang menunjukkan arah menuju Polri yang lebih transparan dan partisipatif.

Peningkatan pelayanan publik seperti SKCK Online, SIM Online, dan Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) mencerminkan hasil dari penguatan kemitraan yang lebih responsif terhadap kebutuhan publik.

✅ 4. Kemitraan dengan Lembaga Eksternal

Kolaborasi dengan LSM, perguruan tinggi, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan media telah membaik secara bertahap.

Program seperti Polri Goes to Campus, Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM), dan Dialog Kamtibmas rutin dilakukan.

🔸 Tantangan yang Masih Dihadapi

Masih terdapat insiden yang merusak citra dan menggerus kepercayaan publik (misalnya kasus etik/kriminal anggota Polri).

Ketimpangan kualitas kemitraan antara pusat dan daerah.

Profesionalisme anggota di lapangan belum merata, berdampak pada kualitas komunikasi dengan masyarakat.

🔹 Kesimpulan: Apakah Partnership Building Berhasil?

✅ Ya, secara umum Program Partnership Building menunjukkan keberhasilan strategis. Program ini berhasil membentuk budaya baru dalam relasi Polri–masyarakat: dari sekadar “penegak hukum” menjadi “mitra masyarakat”. Namun, keberhasilannya belum sepenuhnya merata dan masih perlu konsistensi serta pengawasan berkelanjutan.

> Partnership Building bukan sekadar fase, tapi telah menjadi semangat yang hidup dalam Polri modern berbasis Presisi.


– – – – –

Baca Selengkapnya…

Pertanyaanmu sangat relevan dan strategis, terutama jika dilihat dari sudut pandang akademisi di lingkungan Akpol. Mari kita ulas secara kritis dan ringkas mengenai Program ke-2 Partnership Building dalam konteks Renstra Polri 2005–2024 dan implementasinya sejak 2010 hingga kini (2025).

🔹 Apa Itu Program Partnership Building?

Program ke-2 dalam Grand Strategy Polri (Renstra Polri 2005–2024) adalah Partnership Building (2010–2014). Tujuan utamanya:

Membangun kemitraan strategis antara Polri dan masyarakat.

Meningkatkan kepercayaan publik (public trust).

Menguatkan konsep community policing.

Membangun transparansi dan akuntabilitas Polri.

🔹 Capaian & Implementasi Program Partnership Building

Meskipun secara resmi fase ini berlangsung 2010–2014, prinsip dan nilai-nilainya terus menjadi fondasi operasional dan reformasi Polri hingga saat ini. Berikut beberapa indikator keberhasilannya:

✅ 1. Peningkatan Public Trust

Survei dari lembaga seperti LSI, Litbang Kompas, dan Indikator Politik menunjukkan tren peningkatan kepercayaan publik terhadap Polri dalam beberapa tahun terakhir, meskipun masih fluktuatif tergantung isu aktual.

Citra Polri membaik terutama dalam penanganan bencana, vaksinasi Covid-19, dan pengamanan pemilu.

✅ 2. Penguatan Community Policing

Polri aktif mengembangkan Bhabinkamtibmas sebagai ujung tombak kemitraan dengan masyarakat.

Kehadiran Polisi di tengah masyarakat makin intens, meskipun kualitas komunikasi dan responsivitas masih menjadi tantangan di beberapa daerah.

✅ 3. Keterbukaan Informasi dan Pelayanan Publik

Aplikasi digital seperti Propam Presisi, Dumas Presisi, SP2HP Online, dan e-Tilang menunjukkan arah menuju Polri yang lebih transparan dan partisipatif.

Peningkatan pelayanan publik seperti SKCK Online, SIM Online, dan Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) mencerminkan hasil dari penguatan kemitraan yang lebih responsif terhadap kebutuhan publik.

✅ 4. Kemitraan dengan Lembaga Eksternal

Kolaborasi dengan LSM, perguruan tinggi, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan media telah membaik secara bertahap.

Program seperti Polri Goes to Campus, Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM), dan Dialog Kamtibmas rutin dilakukan.

🔸 Tantangan yang Masih Dihadapi

Masih terdapat insiden yang merusak citra dan menggerus kepercayaan publik (misalnya kasus etik/kriminal anggota Polri).

Ketimpangan kualitas kemitraan antara pusat dan daerah.

Profesionalisme anggota di lapangan belum merata, berdampak pada kualitas komunikasi dengan masyarakat.

🔹 Kesimpulan: Apakah Partnership Building Berhasil?

✅ Ya, secara umum Program Partnership Building menunjukkan keberhasilan strategis. Program ini berhasil membentuk budaya baru dalam relasi Polri–masyarakat: dari sekadar “penegak hukum” menjadi “mitra masyarakat”. Namun, keberhasilannya belum sepenuhnya merata dan masih perlu konsistensi serta pengawasan berkelanjutan.

> Partnership Building bukan sekadar fase, tapi telah menjadi semangat yang hidup dalam Polri modern berbasis Presisi.


– – – – –

Baca Selengkapnya…

Pertanyaanmu sangat relevan dan strategis, terutama jika dilihat dari sudut pandang akademisi di lingkungan Akpol. Mari kita ulas secara kritis dan ringkas mengenai Program ke-2 Partnership Building dalam konteks Renstra Polri 2005–2024 dan implementasinya sejak 2010 hingga kini (2025).

🔹 Apa Itu Program Partnership Building?

Program ke-2 dalam Grand Strategy Polri (Renstra Polri 2005–2024) adalah Partnership Building (2010–2014). Tujuan utamanya:

Membangun kemitraan strategis antara Polri dan masyarakat.

Meningkatkan kepercayaan publik (public trust).

Menguatkan konsep community policing.

Membangun transparansi dan akuntabilitas Polri.

🔹 Capaian & Implementasi Program Partnership Building

Meskipun secara resmi fase ini berlangsung 2010–2014, prinsip dan nilai-nilainya terus menjadi fondasi operasional dan reformasi Polri hingga saat ini. Berikut beberapa indikator keberhasilannya:

✅ 1. Peningkatan Public Trust

Survei dari lembaga seperti LSI, Litbang Kompas, dan Indikator Politik menunjukkan tren peningkatan kepercayaan publik terhadap Polri dalam beberapa tahun terakhir, meskipun masih fluktuatif tergantung isu aktual.

Citra Polri membaik terutama dalam penanganan bencana, vaksinasi Covid-19, dan pengamanan pemilu.

✅ 2. Penguatan Community Policing

Polri aktif mengembangkan Bhabinkamtibmas sebagai ujung tombak kemitraan dengan masyarakat.

Kehadiran Polisi di tengah masyarakat makin intens, meskipun kualitas komunikasi dan responsivitas masih menjadi tantangan di beberapa daerah.

✅ 3. Keterbukaan Informasi dan Pelayanan Publik

Aplikasi digital seperti Propam Presisi, Dumas Presisi, SP2HP Online, dan e-Tilang menunjukkan arah menuju Polri yang lebih transparan dan partisipatif.

Peningkatan pelayanan publik seperti SKCK Online, SIM Online, dan Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) mencerminkan hasil dari penguatan kemitraan yang lebih responsif terhadap kebutuhan publik.

✅ 4. Kemitraan dengan Lembaga Eksternal

Kolaborasi dengan LSM, perguruan tinggi, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan media telah membaik secara bertahap.

Program seperti Polri Goes to Campus, Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM), dan Dialog Kamtibmas rutin dilakukan.

🔸 Tantangan yang Masih Dihadapi

Masih terdapat insiden yang merusak citra dan menggerus kepercayaan publik (misalnya kasus etik/kriminal anggota Polri).

Ketimpangan kualitas kemitraan antara pusat dan daerah.

Profesionalisme anggota di lapangan belum merata, berdampak pada kualitas komunikasi dengan masyarakat.

🔹 Kesimpulan: Apakah Partnership Building Berhasil?

✅ Ya, secara umum Program Partnership Building menunjukkan keberhasilan strategis. Program ini berhasil membentuk budaya baru dalam relasi Polri–masyarakat: dari sekadar “penegak hukum” menjadi “mitra masyarakat”. Namun, keberhasilannya belum sepenuhnya merata dan masih perlu konsistensi serta pengawasan berkelanjutan.

> Partnership Building bukan sekadar fase, tapi telah menjadi semangat yang hidup dalam Polri modern berbasis Presisi.


– – – – –

Baca Selengkapnya…

Pertanyaanmu sangat relevan dan strategis, terutama jika dilihat dari sudut pandang akademisi di lingkungan Akpol. Mari kita ulas secara kritis dan ringkas mengenai Program ke-2 Partnership Building dalam konteks Renstra Polri 2005–2024 dan implementasinya sejak 2010 hingga kini (2025).

🔹 Apa Itu Program Partnership Building?

Program ke-2 dalam Grand Strategy Polri (Renstra Polri 2005–2024) adalah Partnership Building (2010–2014). Tujuan utamanya:

Membangun kemitraan strategis antara Polri dan masyarakat.

Meningkatkan kepercayaan publik (public trust).

Menguatkan konsep community policing.

Membangun transparansi dan akuntabilitas Polri.

🔹 Capaian & Implementasi Program Partnership Building

Meskipun secara resmi fase ini berlangsung 2010–2014, prinsip dan nilai-nilainya terus menjadi fondasi operasional dan reformasi Polri hingga saat ini. Berikut beberapa indikator keberhasilannya:

✅ 1. Peningkatan Public Trust

Survei dari lembaga seperti LSI, Litbang Kompas, dan Indikator Politik menunjukkan tren peningkatan kepercayaan publik terhadap Polri dalam beberapa tahun terakhir, meskipun masih fluktuatif tergantung isu aktual.

Citra Polri membaik terutama dalam penanganan bencana, vaksinasi Covid-19, dan pengamanan pemilu.

✅ 2. Penguatan Community Policing

Polri aktif mengembangkan Bhabinkamtibmas sebagai ujung tombak kemitraan dengan masyarakat.

Kehadiran Polisi di tengah masyarakat makin intens, meskipun kualitas komunikasi dan responsivitas masih menjadi tantangan di beberapa daerah.

✅ 3. Keterbukaan Informasi dan Pelayanan Publik

Aplikasi digital seperti Propam Presisi, Dumas Presisi, SP2HP Online, dan e-Tilang menunjukkan arah menuju Polri yang lebih transparan dan partisipatif.

Peningkatan pelayanan publik seperti SKCK Online, SIM Online, dan Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) mencerminkan hasil dari penguatan kemitraan yang lebih responsif terhadap kebutuhan publik.

✅ 4. Kemitraan dengan Lembaga Eksternal

Kolaborasi dengan LSM, perguruan tinggi, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan media telah membaik secara bertahap.

Program seperti Polri Goes to Campus, Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM), dan Dialog Kamtibmas rutin dilakukan.

🔸 Tantangan yang Masih Dihadapi

Masih terdapat insiden yang merusak citra dan menggerus kepercayaan publik (misalnya kasus etik/kriminal anggota Polri).

Ketimpangan kualitas kemitraan antara pusat dan daerah.

Profesionalisme anggota di lapangan belum merata, berdampak pada kualitas komunikasi dengan masyarakat.

🔹 Kesimpulan: Apakah Partnership Building Berhasil?

✅ Ya, secara umum Program Partnership Building menunjukkan keberhasilan strategis. Program ini berhasil membentuk budaya baru dalam relasi Polri–masyarakat: dari sekadar “penegak hukum” menjadi “mitra masyarakat”. Namun, keberhasilannya belum sepenuhnya merata dan masih perlu konsistensi serta pengawasan berkelanjutan.

> Partnership Building bukan sekadar fase, tapi telah menjadi semangat yang hidup dalam Polri modern berbasis Presisi.


– – – – –

Baca Selengkapnya…

Pertanyaanmu sangat relevan dan strategis, terutama jika dilihat dari sudut pandang akademisi di lingkungan Akpol. Mari kita ulas secara kritis dan ringkas mengenai Program ke-2 Partnership Building dalam konteks Renstra Polri 2005–2024 dan implementasinya sejak 2010 hingga kini (2025).

🔹 Apa Itu Program Partnership Building?

Program ke-2 dalam Grand Strategy Polri (Renstra Polri 2005–2024) adalah Partnership Building (2010–2014). Tujuan utamanya:

Membangun kemitraan strategis antara Polri dan masyarakat.

Meningkatkan kepercayaan publik (public trust).

Menguatkan konsep community policing.

Membangun transparansi dan akuntabilitas Polri.

🔹 Capaian & Implementasi Program Partnership Building

Meskipun secara resmi fase ini berlangsung 2010–2014, prinsip dan nilai-nilainya terus menjadi fondasi operasional dan reformasi Polri hingga saat ini. Berikut beberapa indikator keberhasilannya:

✅ 1. Peningkatan Public Trust

Survei dari lembaga seperti LSI, Litbang Kompas, dan Indikator Politik menunjukkan tren peningkatan kepercayaan publik terhadap Polri dalam beberapa tahun terakhir, meskipun masih fluktuatif tergantung isu aktual.

Citra Polri membaik terutama dalam penanganan bencana, vaksinasi Covid-19, dan pengamanan pemilu.

✅ 2. Penguatan Community Policing

Polri aktif mengembangkan Bhabinkamtibmas sebagai ujung tombak kemitraan dengan masyarakat.

Kehadiran Polisi di tengah masyarakat makin intens, meskipun kualitas komunikasi dan responsivitas masih menjadi tantangan di beberapa daerah.

✅ 3. Keterbukaan Informasi dan Pelayanan Publik

Aplikasi digital seperti Propam Presisi, Dumas Presisi, SP2HP Online, dan e-Tilang menunjukkan arah menuju Polri yang lebih transparan dan partisipatif.

Peningkatan pelayanan publik seperti SKCK Online, SIM Online, dan Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) mencerminkan hasil dari penguatan kemitraan yang lebih responsif terhadap kebutuhan publik.

✅ 4. Kemitraan dengan Lembaga Eksternal

Kolaborasi dengan LSM, perguruan tinggi, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan media telah membaik secara bertahap.

Program seperti Polri Goes to Campus, Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM), dan Dialog Kamtibmas rutin dilakukan.

🔸 Tantangan yang Masih Dihadapi

Masih terdapat insiden yang merusak citra dan menggerus kepercayaan publik (misalnya kasus etik/kriminal anggota Polri).

Ketimpangan kualitas kemitraan antara pusat dan daerah.

Profesionalisme anggota di lapangan belum merata, berdampak pada kualitas komunikasi dengan masyarakat.

🔹 Kesimpulan: Apakah Partnership Building Berhasil?

✅ Ya, secara umum Program Partnership Building menunjukkan keberhasilan strategis. Program ini berhasil membentuk budaya baru dalam relasi Polri–masyarakat: dari sekadar “penegak hukum” menjadi “mitra masyarakat”. Namun, keberhasilannya belum sepenuhnya merata dan masih perlu konsistensi serta pengawasan berkelanjutan.

> Partnership Building bukan sekadar fase, tapi telah menjadi semangat yang hidup dalam Polri modern berbasis Presisi.


– – – – –

Baca Selengkapnya…

Pertanyaanmu sangat relevan dan strategis, terutama jika dilihat dari sudut pandang akademisi di lingkungan Akpol. Mari kita ulas secara kritis dan ringkas mengenai Program ke-2 Partnership Building dalam konteks Renstra Polri 2005–2024 dan implementasinya sejak 2010 hingga kini (2025).

🔹 Apa Itu Program Partnership Building?

Program ke-2 dalam Grand Strategy Polri (Renstra Polri 2005–2024) adalah Partnership Building (2010–2014). Tujuan utamanya:

Membangun kemitraan strategis antara Polri dan masyarakat.

Meningkatkan kepercayaan publik (public trust).

Menguatkan konsep community policing.

Membangun transparansi dan akuntabilitas Polri.

🔹 Capaian & Implementasi Program Partnership Building

Meskipun secara resmi fase ini berlangsung 2010–2014, prinsip dan nilai-nilainya terus menjadi fondasi operasional dan reformasi Polri hingga saat ini. Berikut beberapa indikator keberhasilannya:

✅ 1. Peningkatan Public Trust

Survei dari lembaga seperti LSI, Litbang Kompas, dan Indikator Politik menunjukkan tren peningkatan kepercayaan publik terhadap Polri dalam beberapa tahun terakhir, meskipun masih fluktuatif tergantung isu aktual.

Citra Polri membaik terutama dalam penanganan bencana, vaksinasi Covid-19, dan pengamanan pemilu.

✅ 2. Penguatan Community Policing

Polri aktif mengembangkan Bhabinkamtibmas sebagai ujung tombak kemitraan dengan masyarakat.

Kehadiran Polisi di tengah masyarakat makin intens, meskipun kualitas komunikasi dan responsivitas masih menjadi tantangan di beberapa daerah.

✅ 3. Keterbukaan Informasi dan Pelayanan Publik

Aplikasi digital seperti Propam Presisi, Dumas Presisi, SP2HP Online, dan e-Tilang menunjukkan arah menuju Polri yang lebih transparan dan partisipatif.

Peningkatan pelayanan publik seperti SKCK Online, SIM Online, dan Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) mencerminkan hasil dari penguatan kemitraan yang lebih responsif terhadap kebutuhan publik.

✅ 4. Kemitraan dengan Lembaga Eksternal

Kolaborasi dengan LSM, perguruan tinggi, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan media telah membaik secara bertahap.

Program seperti Polri Goes to Campus, Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM), dan Dialog Kamtibmas rutin dilakukan.

🔸 Tantangan yang Masih Dihadapi

Masih terdapat insiden yang merusak citra dan menggerus kepercayaan publik (misalnya kasus etik/kriminal anggota Polri).

Ketimpangan kualitas kemitraan antara pusat dan daerah.

Profesionalisme anggota di lapangan belum merata, berdampak pada kualitas komunikasi dengan masyarakat.

🔹 Kesimpulan: Apakah Partnership Building Berhasil?

✅ Ya, secara umum Program Partnership Building menunjukkan keberhasilan strategis. Program ini berhasil membentuk budaya baru dalam relasi Polri–masyarakat: dari sekadar “penegak hukum” menjadi “mitra masyarakat”. Namun, keberhasilannya belum sepenuhnya merata dan masih perlu konsistensi serta pengawasan berkelanjutan.

> Partnership Building bukan sekadar fase, tapi telah menjadi semangat yang hidup dalam Polri modern berbasis Presisi.


– – – – –

Baca Selengkapnya…

Pertanyaanmu sangat relevan dan strategis, terutama jika dilihat dari sudut pandang akademisi di lingkungan Akpol. Mari kita ulas secara kritis dan ringkas mengenai Program ke-2 Partnership Building dalam konteks Renstra Polri 2005–2024 dan implementasinya sejak 2010 hingga kini (2025).

🔹 Apa Itu Program Partnership Building?

Program ke-2 dalam Grand Strategy Polri (Renstra Polri 2005–2024) adalah Partnership Building (2010–2014). Tujuan utamanya:

Membangun kemitraan strategis antara Polri dan masyarakat.

Meningkatkan kepercayaan publik (public trust).

Menguatkan konsep community policing.

Membangun transparansi dan akuntabilitas Polri.

🔹 Capaian & Implementasi Program Partnership Building

Meskipun secara resmi fase ini berlangsung 2010–2014, prinsip dan nilai-nilainya terus menjadi fondasi operasional dan reformasi Polri hingga saat ini. Berikut beberapa indikator keberhasilannya:

✅ 1. Peningkatan Public Trust

Survei dari lembaga seperti LSI, Litbang Kompas, dan Indikator Politik menunjukkan tren peningkatan kepercayaan publik terhadap Polri dalam beberapa tahun terakhir, meskipun masih fluktuatif tergantung isu aktual.

Citra Polri membaik terutama dalam penanganan bencana, vaksinasi Covid-19, dan pengamanan pemilu.

✅ 2. Penguatan Community Policing

Polri aktif mengembangkan Bhabinkamtibmas sebagai ujung tombak kemitraan dengan masyarakat.

Kehadiran Polisi di tengah masyarakat makin intens, meskipun kualitas komunikasi dan responsivitas masih menjadi tantangan di beberapa daerah.

✅ 3. Keterbukaan Informasi dan Pelayanan Publik

Aplikasi digital seperti Propam Presisi, Dumas Presisi, SP2HP Online, dan e-Tilang menunjukkan arah menuju Polri yang lebih transparan dan partisipatif.

Peningkatan pelayanan publik seperti SKCK Online, SIM Online, dan Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) mencerminkan hasil dari penguatan kemitraan yang lebih responsif terhadap kebutuhan publik.

✅ 4. Kemitraan dengan Lembaga Eksternal

Kolaborasi dengan LSM, perguruan tinggi, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan media telah membaik secara bertahap.

Program seperti Polri Goes to Campus, Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM), dan Dialog Kamtibmas rutin dilakukan.

🔸 Tantangan yang Masih Dihadapi

Masih terdapat insiden yang merusak citra dan menggerus kepercayaan publik (misalnya kasus etik/kriminal anggota Polri).

Ketimpangan kualitas kemitraan antara pusat dan daerah.

Profesionalisme anggota di lapangan belum merata, berdampak pada kualitas komunikasi dengan masyarakat.

🔹 Kesimpulan: Apakah Partnership Building Berhasil?

✅ Ya, secara umum Program Partnership Building menunjukkan keberhasilan strategis. Program ini berhasil membentuk budaya baru dalam relasi Polri–masyarakat: dari sekadar “penegak hukum” menjadi “mitra masyarakat”. Namun, keberhasilannya belum sepenuhnya merata dan masih perlu konsistensi serta pengawasan berkelanjutan.

> Partnership Building bukan sekadar fase, tapi telah menjadi semangat yang hidup dalam Polri modern berbasis Presisi.


– – – – –

Baca Selengkapnya…

Pertanyaanmu sangat relevan dan strategis, terutama jika dilihat dari sudut pandang akademisi di lingkungan Akpol. Mari kita ulas secara kritis dan ringkas mengenai Program ke-2 Partnership Building dalam konteks Renstra Polri 2005–2024 dan implementasinya sejak 2010 hingga kini (2025).

🔹 Apa Itu Program Partnership Building?

Program ke-2 dalam Grand Strategy Polri (Renstra Polri 2005–2024) adalah Partnership Building (2010–2014). Tujuan utamanya:

Membangun kemitraan strategis antara Polri dan masyarakat.

Meningkatkan kepercayaan publik (public trust).

Menguatkan konsep community policing.

Membangun transparansi dan akuntabilitas Polri.

🔹 Capaian & Implementasi Program Partnership Building

Meskipun secara resmi fase ini berlangsung 2010–2014, prinsip dan nilai-nilainya terus menjadi fondasi operasional dan reformasi Polri hingga saat ini. Berikut beberapa indikator keberhasilannya:

✅ 1. Peningkatan Public Trust

Survei dari lembaga seperti LSI, Litbang Kompas, dan Indikator Politik menunjukkan tren peningkatan kepercayaan publik terhadap Polri dalam beberapa tahun terakhir, meskipun masih fluktuatif tergantung isu aktual.

Citra Polri membaik terutama dalam penanganan bencana, vaksinasi Covid-19, dan pengamanan pemilu.

✅ 2. Penguatan Community Policing

Polri aktif mengembangkan Bhabinkamtibmas sebagai ujung tombak kemitraan dengan masyarakat.

Kehadiran Polisi di tengah masyarakat makin intens, meskipun kualitas komunikasi dan responsivitas masih menjadi tantangan di beberapa daerah.

✅ 3. Keterbukaan Informasi dan Pelayanan Publik

Aplikasi digital seperti Propam Presisi, Dumas Presisi, SP2HP Online, dan e-Tilang menunjukkan arah menuju Polri yang lebih transparan dan partisipatif.

Peningkatan pelayanan publik seperti SKCK Online, SIM Online, dan Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) mencerminkan hasil dari penguatan kemitraan yang lebih responsif terhadap kebutuhan publik.

✅ 4. Kemitraan dengan Lembaga Eksternal

Kolaborasi dengan LSM, perguruan tinggi, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan media telah membaik secara bertahap.

Program seperti Polri Goes to Campus, Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM), dan Dialog Kamtibmas rutin dilakukan.

🔸 Tantangan yang Masih Dihadapi

Masih terdapat insiden yang merusak citra dan menggerus kepercayaan publik (misalnya kasus etik/kriminal anggota Polri).

Ketimpangan kualitas kemitraan antara pusat dan daerah.

Profesionalisme anggota di lapangan belum merata, berdampak pada kualitas komunikasi dengan masyarakat.

🔹 Kesimpulan: Apakah Partnership Building Berhasil?

✅ Ya, secara umum Program Partnership Building menunjukkan keberhasilan strategis. Program ini berhasil membentuk budaya baru dalam relasi Polri–masyarakat: dari sekadar “penegak hukum” menjadi “mitra masyarakat”. Namun, keberhasilannya belum sepenuhnya merata dan masih perlu konsistensi serta pengawasan berkelanjutan.

> Partnership Building bukan sekadar fase, tapi telah menjadi semangat yang hidup dalam Polri modern berbasis Presisi.




– – – – –

Baca Selengkapnya…

Pertanyaanmu sangat relevan dan strategis, terutama jika dilihat dari sudut pandang akademisi di lingkungan Akpol. Mari kita ulas secara kritis dan ringkas mengenai Program ke-2 Partnership Building dalam konteks Renstra Polri 2005–2024 dan implementasinya sejak 2010 hingga kini (2025).

🔹 Apa Itu Program Partnership Building?

Program ke-2 dalam Grand Strategy Polri (Renstra Polri 2005–2024) adalah Partnership Building (2010–2014). Tujuan utamanya:

Membangun kemitraan strategis antara Polri dan masyarakat.

Meningkatkan kepercayaan publik (public trust).

Menguatkan konsep community policing.

Membangun transparansi dan akuntabilitas Polri.

🔹 Capaian & Implementasi Program Partnership Building

Meskipun secara resmi fase ini berlangsung 2010–2014, prinsip dan nilai-nilainya terus menjadi fondasi operasional dan reformasi Polri hingga saat ini. Berikut beberapa indikator keberhasilannya:

✅ 1. Peningkatan Public Trust

Survei dari lembaga seperti LSI, Litbang Kompas, dan Indikator Politik menunjukkan tren peningkatan kepercayaan publik terhadap Polri dalam beberapa tahun terakhir, meskipun masih fluktuatif tergantung isu aktual.

Citra Polri membaik terutama dalam penanganan bencana, vaksinasi Covid-19, dan pengamanan pemilu.

✅ 2. Penguatan Community Policing

Polri aktif mengembangkan Bhabinkamtibmas sebagai ujung tombak kemitraan dengan masyarakat.

Kehadiran Polisi di tengah masyarakat makin intens, meskipun kualitas komunikasi dan responsivitas masih menjadi tantangan di beberapa daerah.

✅ 3. Keterbukaan Informasi dan Pelayanan Publik

Aplikasi digital seperti Propam Presisi, Dumas Presisi, SP2HP Online, dan e-Tilang menunjukkan arah menuju Polri yang lebih transparan dan partisipatif.

Peningkatan pelayanan publik seperti SKCK Online, SIM Online, dan Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) mencerminkan hasil dari penguatan kemitraan yang lebih responsif terhadap kebutuhan publik.

✅ 4. Kemitraan dengan Lembaga Eksternal

Kolaborasi dengan LSM, perguruan tinggi, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan media telah membaik secara bertahap.

Program seperti Polri Goes to Campus, Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM), dan Dialog Kamtibmas rutin dilakukan.

🔸 Tantangan yang Masih Dihadapi

Masih terdapat insiden yang merusak citra dan menggerus kepercayaan publik (misalnya kasus etik/kriminal anggota Polri).

Ketimpangan kualitas kemitraan antara pusat dan daerah.

Profesionalisme anggota di lapangan belum merata, berdampak pada kualitas komunikasi dengan masyarakat.

🔹 Kesimpulan: Apakah Partnership Building Berhasil?

✅ Ya, secara umum Program Partnership Building menunjukkan keberhasilan strategis. Program ini berhasil membentuk budaya baru dalam relasi Polri–masyarakat: dari sekadar “penegak hukum” menjadi “mitra masyarakat”. Namun, keberhasilannya belum sepenuhnya merata dan masih perlu konsistensi serta pengawasan berkelanjutan.

> Partnership Building bukan sekadar fase, tapi telah menjadi semangat yang hidup dalam Polri modern berbasis Presisi.

– – – – –

Baca Selengkapnya…

Ya, ada beberapa negara dalam sejarah yang runtuh atau mengalami kehancuran serius karena rusaknya integritas aparat pemerintahnya, termasuk korupsi, kolusi, nepotisme, penyalahgunaan kekuasaan, dan lemahnya penegakan hukum. Berikut adalah beberapa contohnya:

1. Somalia (1991-sekarang)

Penyebab runtuh: Pemerintahan diktator Siad Barre runtuh tahun 1991 setelah bertahun-tahun praktik korupsi, penindasan politik, dan kekerasan oleh aparat keamanan.

Akibat: Negara jatuh dalam anarki. Tidak ada pemerintahan pusat yang stabil selama puluhan tahun. Milisi dan kelompok seperti Al-Shabaab mengisi kekosongan kekuasaan.

2. Uni Soviet (1991)

Penyebab runtuh: Rusaknya integritas birokrasi dan aparat Partai Komunis. Korupsi sistemik, ketidakmampuan menangani ekonomi, serta represifnya aparat keamanan terhadap rakyat.

Akibat: Negara bubar menjadi 15 negara merdeka. Rakyat kehilangan kepercayaan pada institusi negara.

3. Yugoslavia (1990-an)

Penyebab runtuh: Ketidakmampuan pemerintah pusat menjaga keadilan antarkelompok etnis, serta praktik korupsi dan represi aparat di beberapa republik.

Akibat: Perang saudara, genosida, dan perpecahan menjadi beberapa negara baru seperti Serbia, Kroasia, Bosnia-Herzegovina, dll.

4. Zimbabwe (Era Mugabe)

Penyebab kehancuran: Pemerintahan Robert Mugabe (1980–2017) ditandai dengan korupsi masif, penyalahgunaan kekuasaan, dan pengendalian militer terhadap oposisi.

Akibat: Ekonomi runtuh, hiperinflasi ekstrem, rakyat kelaparan, dan eksodus penduduk.

5. Venezuela (2000-an hingga sekarang)

Penyebab krisis: Integritas aparat pemerintah rusak parah — korupsi, nepotisme, penguasaan sumber daya oleh elite, serta militer yang terlibat dalam bisnis ilegal.

Akibat: Krisis ekonomi dan kemanusiaan besar-besaran. Jutaan rakyat mengungsi ke negara lain.

Ciri Umum Negara yang Runtuh Karena Integritas Aparat Rusak:

Korupsi merajalela di semua tingkat kekuasaan.

Aparat hukum dan keamanan menjadi alat kekuasaan, bukan penjaga keadilan.

Masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap institusi.

Hukum hanya berlaku untuk rakyat kecil, tidak untuk elite.

Ketimpangan sosial melebar dan konflik horizontal meningkat.

– – – – –

Baca Selengkapnya…

Ya, ada beberapa negara dalam sejarah yang runtuh atau mengalami kehancuran serius karena rusaknya integritas aparat pemerintahnya, termasuk korupsi, kolusi, nepotisme, penyalahgunaan kekuasaan, dan lemahnya penegakan hukum. Berikut adalah beberapa contohnya:

1. Somalia (1991-sekarang)

Penyebab runtuh: Pemerintahan diktator Siad Barre runtuh tahun 1991 setelah bertahun-tahun praktik korupsi, penindasan politik, dan kekerasan oleh aparat keamanan.

Akibat: Negara jatuh dalam anarki. Tidak ada pemerintahan pusat yang stabil selama puluhan tahun. Milisi dan kelompok seperti Al-Shabaab mengisi kekosongan kekuasaan.

2. Uni Soviet (1991)

Penyebab runtuh: Rusaknya integritas birokrasi dan aparat Partai Komunis. Korupsi sistemik, ketidakmampuan menangani ekonomi, serta represifnya aparat keamanan terhadap rakyat.

Akibat: Negara bubar menjadi 15 negara merdeka. Rakyat kehilangan kepercayaan pada institusi negara.

3. Yugoslavia (1990-an)

Penyebab runtuh: Ketidakmampuan pemerintah pusat menjaga keadilan antarkelompok etnis, serta praktik korupsi dan represi aparat di beberapa republik.

Akibat: Perang saudara, genosida, dan perpecahan menjadi beberapa negara baru seperti Serbia, Kroasia, Bosnia-Herzegovina, dll.

4. Zimbabwe (Era Mugabe)

Penyebab kehancuran: Pemerintahan Robert Mugabe (1980–2017) ditandai dengan korupsi masif, penyalahgunaan kekuasaan, dan pengendalian militer terhadap oposisi.

Akibat: Ekonomi runtuh, hiperinflasi ekstrem, rakyat kelaparan, dan eksodus penduduk.

5. Venezuela (2000-an hingga sekarang)

Penyebab krisis: Integritas aparat pemerintah rusak parah — korupsi, nepotisme, penguasaan sumber daya oleh elite, serta militer yang terlibat dalam bisnis ilegal.

Akibat: Krisis ekonomi dan kemanusiaan besar-besaran. Jutaan rakyat mengungsi ke negara lain.

Ciri Umum Negara yang Runtuh Karena Integritas Aparat Rusak:

Korupsi merajalela di semua tingkat kekuasaan.

Aparat hukum dan keamanan menjadi alat kekuasaan, bukan penjaga keadilan.

Masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap institusi.

Hukum hanya berlaku untuk rakyat kecil, tidak untuk elite.

Ketimpangan sosial melebar dan konflik horizontal meningkat.


– – – – –

Baca Selengkapnya…

Ya, ada beberapa negara dalam sejarah yang runtuh atau mengalami kehancuran serius karena rusaknya integritas aparat pemerintahnya, termasuk korupsi, kolusi, nepotisme, penyalahgunaan kekuasaan, dan lemahnya penegakan hukum. Berikut adalah beberapa contohnya:

1. Somalia (1991-sekarang)

Penyebab runtuh: Pemerintahan diktator Siad Barre runtuh tahun 1991 setelah bertahun-tahun praktik korupsi, penindasan politik, dan kekerasan oleh aparat keamanan.

Akibat: Negara jatuh dalam anarki. Tidak ada pemerintahan pusat yang stabil selama puluhan tahun. Milisi dan kelompok seperti Al-Shabaab mengisi kekosongan kekuasaan.

2. Uni Soviet (1991)

Penyebab runtuh: Rusaknya integritas birokrasi dan aparat Partai Komunis. Korupsi sistemik, ketidakmampuan menangani ekonomi, serta represifnya aparat keamanan terhadap rakyat.

Akibat: Negara bubar menjadi 15 negara merdeka. Rakyat kehilangan kepercayaan pada institusi negara.

3. Yugoslavia (1990-an)

Penyebab runtuh: Ketidakmampuan pemerintah pusat menjaga keadilan antarkelompok etnis, serta praktik korupsi dan represi aparat di beberapa republik.

Akibat: Perang saudara, genosida, dan perpecahan menjadi beberapa negara baru seperti Serbia, Kroasia, Bosnia-Herzegovina, dll.

4. Zimbabwe (Era Mugabe)

Penyebab kehancuran: Pemerintahan Robert Mugabe (1980–2017) ditandai dengan korupsi masif, penyalahgunaan kekuasaan, dan pengendalian militer terhadap oposisi.

Akibat: Ekonomi runtuh, hiperinflasi ekstrem, rakyat kelaparan, dan eksodus penduduk.

5. Venezuela (2000-an hingga sekarang)

Penyebab krisis: Integritas aparat pemerintah rusak parah — korupsi, nepotisme, penguasaan sumber daya oleh elite, serta militer yang terlibat dalam bisnis ilegal.

Akibat: Krisis ekonomi dan kemanusiaan besar-besaran. Jutaan rakyat mengungsi ke negara lain.

Ciri Umum Negara yang Runtuh Karena Integritas Aparat Rusak:

Korupsi merajalela di semua tingkat kekuasaan.

Aparat hukum dan keamanan menjadi alat kekuasaan, bukan penjaga keadilan.

Masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap institusi.

Hukum hanya berlaku untuk rakyat kecil, tidak untuk elite.

Ketimpangan sosial melebar dan konflik horizontal meningkat.

– – – – –

Baca Selengkapnya…

Ya, ada beberapa negara dalam sejarah yang runtuh atau mengalami kehancuran serius karena rusaknya integritas aparat pemerintahnya, termasuk korupsi, kolusi, nepotisme, penyalahgunaan kekuasaan, dan lemahnya penegakan hukum. Berikut adalah beberapa contohnya:

1. Somalia (1991-sekarang)

Penyebab runtuh: Pemerintahan diktator Siad Barre runtuh tahun 1991 setelah bertahun-tahun praktik korupsi, penindasan politik, dan kekerasan oleh aparat keamanan.

Akibat: Negara jatuh dalam anarki. Tidak ada pemerintahan pusat yang stabil selama puluhan tahun. Milisi dan kelompok seperti Al-Shabaab mengisi kekosongan kekuasaan.

2. Uni Soviet (1991)

Penyebab runtuh: Rusaknya integritas birokrasi dan aparat Partai Komunis. Korupsi sistemik, ketidakmampuan menangani ekonomi, serta represifnya aparat keamanan terhadap rakyat.

Akibat: Negara bubar menjadi 15 negara merdeka. Rakyat kehilangan kepercayaan pada institusi negara.

3. Yugoslavia (1990-an)

Penyebab runtuh: Ketidakmampuan pemerintah pusat menjaga keadilan antarkelompok etnis, serta praktik korupsi dan represi aparat di beberapa republik.

Akibat: Perang saudara, genosida, dan perpecahan menjadi beberapa negara baru seperti Serbia, Kroasia, Bosnia-Herzegovina, dll.

4. Zimbabwe (Era Mugabe)

Penyebab kehancuran: Pemerintahan Robert Mugabe (1980–2017) ditandai dengan korupsi masif, penyalahgunaan kekuasaan, dan pengendalian militer terhadap oposisi.

Akibat: Ekonomi runtuh, hiperinflasi ekstrem, rakyat kelaparan, dan eksodus penduduk.

5. Venezuela (2000-an hingga sekarang)

Penyebab krisis: Integritas aparat pemerintah rusak parah — korupsi, nepotisme, penguasaan sumber daya oleh elite, serta militer yang terlibat dalam bisnis ilegal.

Akibat: Krisis ekonomi dan kemanusiaan besar-besaran. Jutaan rakyat mengungsi ke negara lain.

Ciri Umum Negara yang Runtuh Karena Integritas Aparat Rusak:

Korupsi merajalela di semua tingkat kekuasaan.

Aparat hukum dan keamanan menjadi alat kekuasaan, bukan penjaga keadilan.

Masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap institusi.

Hukum hanya berlaku untuk rakyat kecil, tidak untuk elite.

Ketimpangan sosial melebar dan konflik horizontal meningkat.

– – – – –

Baca Selengkapnya…

Ya, ada beberapa negara dalam sejarah yang runtuh atau mengalami kehancuran serius karena rusaknya integritas aparat pemerintahnya, termasuk korupsi, kolusi, nepotisme, penyalahgunaan kekuasaan, dan lemahnya penegakan hukum. Berikut adalah beberapa contohnya:

1. Somalia (1991-sekarang)

Penyebab runtuh: Pemerintahan diktator Siad Barre runtuh tahun 1991 setelah bertahun-tahun praktik korupsi, penindasan politik, dan kekerasan oleh aparat keamanan.

Akibat: Negara jatuh dalam anarki. Tidak ada pemerintahan pusat yang stabil selama puluhan tahun. Milisi dan kelompok seperti Al-Shabaab mengisi kekosongan kekuasaan.

2. Uni Soviet (1991)

Penyebab runtuh: Rusaknya integritas birokrasi dan aparat Partai Komunis. Korupsi sistemik, ketidakmampuan menangani ekonomi, serta represifnya aparat keamanan terhadap rakyat.

Akibat: Negara bubar menjadi 15 negara merdeka. Rakyat kehilangan kepercayaan pada institusi negara.

3. Yugoslavia (1990-an)

Penyebab runtuh: Ketidakmampuan pemerintah pusat menjaga keadilan antarkelompok etnis, serta praktik korupsi dan represi aparat di beberapa republik.

Akibat: Perang saudara, genosida, dan perpecahan menjadi beberapa negara baru seperti Serbia, Kroasia, Bosnia-Herzegovina, dll.

4. Zimbabwe (Era Mugabe)

Penyebab kehancuran: Pemerintahan Robert Mugabe (1980–2017) ditandai dengan korupsi masif, penyalahgunaan kekuasaan, dan pengendalian militer terhadap oposisi.

Akibat: Ekonomi runtuh, hiperinflasi ekstrem, rakyat kelaparan, dan eksodus penduduk.

5. Venezuela (2000-an hingga sekarang)

Penyebab krisis: Integritas aparat pemerintah rusak parah — korupsi, nepotisme, penguasaan sumber daya oleh elite, serta militer yang terlibat dalam bisnis ilegal.

Akibat: Krisis ekonomi dan kemanusiaan besar-besaran. Jutaan rakyat mengungsi ke negara lain.

Ciri Umum Negara yang Runtuh Karena Integritas Aparat Rusak:

Korupsi merajalela di semua tingkat kekuasaan.

Aparat hukum dan keamanan menjadi alat kekuasaan, bukan penjaga keadilan.

Masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap institusi.

Hukum hanya berlaku untuk rakyat kecil, tidak untuk elite.

Ketimpangan sosial melebar dan konflik horizontal meningkat.


– – – – –

Baca Selengkapnya…

Konflik antara suku Hutu dan Tutsi di Afrika, khususnya di Rwanda, merupakan salah satu tragedi kemanusiaan terbesar abad ke-20. Konflik ini, yang berpuncak pada genosida Rwanda tahun 1994, memiliki dampak yang sangat merusak terhadap peradaban manusia dari berbagai aspek:

1. Kehancuran Nilai KemanusiaanSekitar 800.000 hingga 1.000.000 orang Tutsi dan Hutu moderat dibunuh dalam waktu sekitar 100 hari.Tindakan pembantaian dilakukan dengan cara yang sangat brutal: menggunakan parang, senjata tajam, hingga pembakaran hidup-hidup.Rakyat biasa, bahkan tetangga dan teman, ikut serta dalam kekerasan, menunjukkan betapa cepat nilai-nilai kemanusiaan bisa runtuh dalam situasi kebencian massal.

2. Pecahnya Struktur Sosial dan PolitikKonflik ini menghancurkan tatanan sosial yang sebelumnya ada. Hubungan antar kelompok etnis yang dulu hidup berdampingan menjadi penuh kecurigaan dan kebencian.Negara menjadi lumpuh, pemerintahan tidak berfungsi, dan aparat keamanan pun ikut serta dalam genosida.Setelah genosida, lebih dari 2 juta orang mengungsi ke negara-negara tetangga, menciptakan krisis kemanusiaan dan keamanan regional.

3. Kemunduran Ekonomi dan InfrastrukturPerang dan genosida menyebabkan hancurnya infrastruktur dasar: sekolah, rumah sakit, jalan, dan fasilitas publik lainnya.Aktivitas ekonomi terhenti; ladang-ladang ditinggalkan, perdagangan macet, dan investasi asing hilang.Rwanda menjadi salah satu negara termiskin di dunia setelah genosida.

4. Trauma dan Luka Psikologis KolektifGenerasi yang selamat dari konflik mengalami trauma mendalam. Banyak anak menjadi yatim piatu, banyak perempuan menjadi korban pemerkosaan massal.Luka psikologis ini diwariskan, membentuk identitas kolektif yang penuh luka dan ketakutan, yang menghambat rekonsiliasi dan pembangunan jangka panjang.

5. Kehilangan Kepercayaan terhadap Kemanusiaan dan Dunia InternasionalDunia internasional dianggap gagal mencegah genosida meskipun ada tanda-tanda jelas sebelumnya. PBB dan negara-negara besar tidak segera bertindak.Hal ini menimbulkan perasaan ditinggalkan dan hilangnya kepercayaan terhadap sistem internasional yang seharusnya menjaga perdamaian.

6. Merusak Konsep Identitas dan KebhinekaanIdentitas etnis yang sebelumnya bersifat cair (Hutu dan Tutsi pernah saling menikah dan hidup bersama) dipolitisasi dan digunakan untuk saling membenci.Konflik ini menunjukkan bagaimana perbedaan identitas bisa dimanipulasi oleh elite politik untuk mencapai kekuasaan, merusak konsep kebhinekaan yang menjadi dasar peradaban damai.

Kesimpulan:Konflik Hutu-Tutsi bukan hanya tragedi nasional Rwanda, tapi juga peringatan global tentang bagaimana kebencian, propaganda etnis, dan ketidakadilan sosial dapat menghancurkan peradaban. Peristiwa ini menjadi contoh nyata bagaimana perpecahan identitas, jika tidak dikelola dengan bijak, bisa menghancurkan segala capaian kemanusiaan — dari nilai moral, sistem sosial, hingga stabilitas negara.Jika kamu ingin, aku juga bisa buatkan rangkuman visual atau infografik tentang hal ini untuk digunakan dalam pengajaran.




– – – – –

Baca Selengkapnya…

Hai! Pertanyaanmu menarik dan membuka ruang refleksi sosial yang dalam. Secara umum, sangat jarang orang secara terbuka bercita-cita menjadi preman, karena istilah “preman” sendiri identik dengan kekerasan, intimidasi, dan kegiatan ilegal. Namun, dalam kenyataannya, ada sebagian orang—khususnya di lingkungan sosial dan ekonomi yang keras—yang menjadikan dunia premanisme sebagai pilihan hidup atau bahkan satu-satunya jalan keluar dari keterbatasan.

Mengapa seseorang bisa ingin jadi preman?

1. Lingkungan dan tekanan sosial: Anak-anak yang tumbuh di kawasan miskin, padat, atau penuh konflik sering menyaksikan bahwa para preman lokal punya kuasa, uang, dan dihormati (atau ditakuti). Dalam situasi seperti itu, menjadi preman terlihat lebih realistis daripada mengejar cita-cita ideal seperti jadi dokter atau insinyur.

2. Ketiadaan akses pendidikan dan ekonomi: Ketika sistem tidak memberi peluang yang adil, premanisme bisa menjadi jalur “profesional” alternatif. Menjadi preman berarti bisa mengontrol wilayah, mendapatkan uang dari pungli, parkiran, pengamanan, atau menjadi backing bisnis tertentu.

3. Pencarian identitas dan status: Bagi sebagian remaja yang kehilangan arah, menjadi bagian dari kelompok preman memberi mereka identitas, rasa kekeluargaan, dan rasa berkuasa yang tidak mereka dapatkan di tempat lain.

Apa keuntungannya menjadi preman?

Dalam konteks mereka, keuntungan ini dianggap sebagai “hasil” dari posisi mereka di masyarakat:

1. Kekuasaan lokal: Preman biasanya memiliki otoritas informal di wilayah tertentu. Mereka bisa mengatur, memungut bayaran, bahkan menjadi “penengah” masalah warga.

2. Pendapatan cepat: Meskipun ilegal, kegiatan preman bisa menghasilkan uang secara cepat—dari pungutan liar, pemalakan, pengamanan, atau kerja sama dengan bisnis atau bahkan elite politik.

3. Koneksi ke politik dan dunia usaha: Banyak preman besar yang akhirnya “naik kelas”, masuk ke bisnis legal, bahkan menjadi alat politik (contohnya: Hercules Rosario Marshal, yang pernah menjadi backing kelompok politik tertentu).

4. Simbol kekuatan dan intimidasi: Di banyak tempat, orang takut pada preman. Ketakutan itu bisa menjadi alat kontrol sosial yang dipakai oleh preman untuk mempertahankan wilayah dan mendapatkan pengaruh.

Namun, semua ini datang dengan risiko besar: kekerasan, konflik dengan hukum, kehilangan nyawa, dan tidak adanya jaminan masa depan. Banyak preman tua akhirnya hidup miskin, sakit-sakitan, atau dilupakan.

Menariknya, ada juga yang “tobat” dan membalik hidup mereka, seperti John Kei yang di masa hukuman penjara mulai menempuh jalur religius, atau Hercules yang kemudian dikenal aktif di kegiatan sosial dan politik.

– – – – –

Baca Selengkapnya…

Hai juga! Pertanyaanmu sangat bagus dan menyentuh salah satu momen paling penting dalam sejarah hukum modern: Kode Napoleon atau Code Civil.

🔎 Apa itu Kode Napoleon?

Kode Napoleon (disahkan tahun 1804) adalah himpunan hukum sipil yang disusun atas perintah Napoleon Bonaparte untuk Prancis. Tujuannya adalah menggantikan hukum feodal yang kacau dan berbeda-beda di tiap wilayah Prancis dengan satu sistem hukum nasional yang logis, rasional, dan berlaku untuk semua warga negara secara setara.

🧠 Mengapa Kode Napoleon Berpengaruh Besar?

Karena:

1. Sederhana dan logis: Menggunakan bahasa yang mudah dimengerti.

2. Berlaku universal: Tidak ada perbedaan antara bangsawan dan rakyat biasa.

3. Berdasarkan prinsip hukum Romawi: Sistematis dan tertulis, bukan kebiasaan lisan.

4. Mengutamakan kepastian hukum dan keadilan formal.

🌍 Bagaimana Kode Napoleon Mempengaruhi Negara Lain?

Kode ini menjadi model utama sistem hukum sipil (civil law) di dunia. Setelah Prancis, banyak negara mengadopsinya, baik karena: Penjajahan Prancis, atau Pengaruh ide modern Eropa

🗺️ Negara-Negara yang Terpengaruh:

➤ Eropa

Belgia, Italia, Jerman, Spanyol, Belanda: mengadaptasi banyak prinsip dari Code Civil.

Bahkan KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek) Belanda yang menjadi dasar hukum perdata Indonesia berasal dari sistem yang dipengaruhi Code Napoleon.

➤ Asia

Indonesia: melalui warisan hukum Belanda.

Jepang dan Korea Selatan: saat modernisasi abad ke-19, mereka meniru sistem hukum Eropa kontinental, termasuk Code Napoleon.

➤ Amerika Latin

Hampir semua negara di Amerika Latin mengembangkan kode sipil mereka sendiri berdasarkan Code Napoleon (misalnya Meksiko, Brasil, Argentina).

➤ Afrika dan Timur Tengah

Negara-negara bekas koloni Prancis, seperti Aljazair, Tunisia, dan Lebanon, juga mengadopsi sistem hukum serupa.

⚖️ Warisan Penting Kode Napoleon

1. Equality before the law – Semua orang sama di mata hukum.

2. Property rights – Hak milik dijamin hukum.

3. Sekularisme hukum – Pisah dari hukum agama (khususnya Katolik di Prancis).

4. Codification – Semua hukum ditulis secara sistematis dalam satu kitab hukum.

🏛️ Kesimpulan

Kode Napoleon menjadi fondasi hukum modern di berbagai negara karena:

Rasional,

Mudah diterapkan,

Menghapus privilese feodal,

Memperkuat negara modern yang berbasis hukum tertulis.

Ia bukan hanya reformasi hukum Prancis, tapi juga “export ideologi hukum” ke dunia.


– – – – –

Baca Selengkapnya…

Konflik antara suku Hutu dan Tutsi di Afrika, khususnya di Rwanda, merupakan salah satu tragedi kemanusiaan terbesar abad ke-20. Konflik ini, yang berpuncak pada genosida Rwanda tahun 1994, memiliki dampak yang sangat merusak terhadap peradaban manusia dari berbagai aspek:

1. Kehancuran Nilai KemanusiaanSekitar 800.000 hingga 1.000.000 orang Tutsi dan Hutu moderat dibunuh dalam waktu sekitar 100 hari.Tindakan pembantaian dilakukan dengan cara yang sangat brutal: menggunakan parang, senjata tajam, hingga pembakaran hidup-hidup.Rakyat biasa, bahkan tetangga dan teman, ikut serta dalam kekerasan, menunjukkan betapa cepat nilai-nilai kemanusiaan bisa runtuh dalam situasi kebencian massal.

2. Pecahnya Struktur Sosial dan PolitikKonflik ini menghancurkan tatanan sosial yang sebelumnya ada. Hubungan antar kelompok etnis yang dulu hidup berdampingan menjadi penuh kecurigaan dan kebencian.Negara menjadi lumpuh, pemerintahan tidak berfungsi, dan aparat keamanan pun ikut serta dalam genosida.Setelah genosida, lebih dari 2 juta orang mengungsi ke negara-negara tetangga, menciptakan krisis kemanusiaan dan keamanan regional.

3. Kemunduran Ekonomi dan InfrastrukturPerang dan genosida menyebabkan hancurnya infrastruktur dasar: sekolah, rumah sakit, jalan, dan fasilitas publik lainnya.Aktivitas ekonomi terhenti; ladang-ladang ditinggalkan, perdagangan macet, dan investasi asing hilang.Rwanda menjadi salah satu negara termiskin di dunia setelah genosida.

4. Trauma dan Luka Psikologis KolektifGenerasi yang selamat dari konflik mengalami trauma mendalam. Banyak anak menjadi yatim piatu, banyak perempuan menjadi korban pemerkosaan massal.Luka psikologis ini diwariskan, membentuk identitas kolektif yang penuh luka dan ketakutan, yang menghambat rekonsiliasi dan pembangunan jangka panjang.

5. Kehilangan Kepercayaan terhadap Kemanusiaan dan Dunia InternasionalDunia internasional dianggap gagal mencegah genosida meskipun ada tanda-tanda jelas sebelumnya. PBB dan negara-negara besar tidak segera bertindak.Hal ini menimbulkan perasaan ditinggalkan dan hilangnya kepercayaan terhadap sistem internasional yang seharusnya menjaga perdamaian.

6. Merusak Konsep Identitas dan KebhinekaanIdentitas etnis yang sebelumnya bersifat cair (Hutu dan Tutsi pernah saling menikah dan hidup bersama) dipolitisasi dan digunakan untuk saling membenci.Konflik ini menunjukkan bagaimana perbedaan identitas bisa dimanipulasi oleh elite politik untuk mencapai kekuasaan, merusak konsep kebhinekaan yang menjadi dasar peradaban damai.

Kesimpulan:Konflik Hutu-Tutsi bukan hanya tragedi nasional Rwanda, tapi juga peringatan global tentang bagaimana kebencian, propaganda etnis, dan ketidakadilan sosial dapat menghancurkan peradaban. Peristiwa ini menjadi contoh nyata bagaimana perpecahan identitas, jika tidak dikelola dengan bijak, bisa menghancurkan segala capaian kemanusiaan — dari nilai moral, sistem sosial, hingga stabilitas negara.Jika kamu ingin, aku juga bisa buatkan rangkuman visual atau infografik tentang hal ini untuk digunakan dalam pengajaran.





– – – – –

Baca Selengkapnya…

Dalam lingkup hubungan sosial kemasyarakatan, seseorang dianggap produktif bila ia berkontribusi positif terhadap masyarakat dan mampu membangun hubungan sosial yang sehat dan bermanfaat. Berikut beberapa parameter yang bisa digunakan untuk mengukurnya:

1. Partisipasi Aktif dalam Kegiatan SosialTerlibat dalam kegiatan gotong royong, rapat warga, kegiatan keagamaan, atau acara kemasyarakatan.Sering menjadi panitia atau penggerak kegiatan sosial.

2. Kontribusi terhadap Kesejahteraan MasyarakatMembantu tetangga yang membutuhkan (misalnya bantuan materi, tenaga, atau waktu).Memberikan solusi atas masalah sosial, seperti kemiskinan, pendidikan, atau lingkungan.

3. Kemampuan Berkomunikasi dan Berinteraksi SosialMampu menjalin hubungan baik dengan berbagai kalangan.Menjadi penengah atau fasilitator dalam konflik sosial.

4. Tingkat Kepercayaan SosialDipercaya oleh masyarakat untuk memegang peran atau tanggung jawab.Dikenal sebagai pribadi yang jujur, terbuka, dan dapat diandalkan.

5. Inisiatif dan Kepemimpinan SosialSering memulai kegiatan yang bermanfaat bagi komunitas.Mampu menggerakkan orang lain untuk berbuat baik bersama.

6. Frekuensi dan Dampak Aktivitas SosialSeberapa sering individu itu terlibat, dan seberapa besar pengaruhnya terhadap lingkungan sosial.

7. Kepedulian terhadap Isu SosialResponsif terhadap isu kemasyarakatan (lingkungan, kemiskinan, pendidikan, dll.).Mengedukasi masyarakat atau menyuarakan nilai-nilai positif.












– – – – –

Baca Selengkapnya…

Ya, ada beberapa negara dalam sejarah yang runtuh atau mengalami kehancuran serius karena rusaknya integritas aparat pemerintahnya, termasuk korupsi, kolusi, nepotisme, penyalahgunaan kekuasaan, dan lemahnya penegakan hukum. Berikut adalah beberapa contohnya:

1. Somalia (1991-sekarang)

Penyebab runtuh: Pemerintahan diktator Siad Barre runtuh tahun 1991 setelah bertahun-tahun praktik korupsi, penindasan politik, dan kekerasan oleh aparat keamanan.

Akibat: Negara jatuh dalam anarki. Tidak ada pemerintahan pusat yang stabil selama puluhan tahun. Milisi dan kelompok seperti Al-Shabaab mengisi kekosongan kekuasaan.

2. Uni Soviet (1991)

Penyebab runtuh: Rusaknya integritas birokrasi dan aparat Partai Komunis. Korupsi sistemik, ketidakmampuan menangani ekonomi, serta represifnya aparat keamanan terhadap rakyat.

Akibat: Negara bubar menjadi 15 negara merdeka. Rakyat kehilangan kepercayaan pada institusi negara.

3. Yugoslavia (1990-an)

Penyebab runtuh: Ketidakmampuan pemerintah pusat menjaga keadilan antarkelompok etnis, serta praktik korupsi dan represi aparat di beberapa republik.

Akibat: Perang saudara, genosida, dan perpecahan menjadi beberapa negara baru seperti Serbia, Kroasia, Bosnia-Herzegovina, dll.

4. Zimbabwe (Era Mugabe)

Penyebab kehancuran: Pemerintahan Robert Mugabe (1980–2017) ditandai dengan korupsi masif, penyalahgunaan kekuasaan, dan pengendalian militer terhadap oposisi.

Akibat: Ekonomi runtuh, hiperinflasi ekstrem, rakyat kelaparan, dan eksodus penduduk.

5. Venezuela (2000-an hingga sekarang)

Penyebab krisis: Integritas aparat pemerintah rusak parah — korupsi, nepotisme, penguasaan sumber daya oleh elite, serta militer yang terlibat dalam bisnis ilegal.

Akibat: Krisis ekonomi dan kemanusiaan besar-besaran. Jutaan rakyat mengungsi ke negara lain.

Ciri Umum Negara yang Runtuh Karena Integritas Aparat Rusak:

Korupsi merajalela di semua tingkat kekuasaan.

Aparat hukum dan keamanan menjadi alat kekuasaan, bukan penjaga keadilan.

Masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap institusi.

Hukum hanya berlaku untuk rakyat kecil, tidak untuk elite.

Ketimpangan sosial melebar dan konflik horizontal meningkat.









– – – – –

Baca Selengkapnya…

Pertanyaan yang sangat penting dan relevan, apalagi bagi kamu sebagai pengajar di Akpol. Negara-negara Skandinavia seperti Swedia, Norwegia, Denmark, dan Finlandia terkenal dengan tingkat integritas aparat hukum yang sangat tinggi dan tingkat korupsi yang sangat rendah. Mereka tidak hanya membangun sistem hukum yang baik, tetapi juga budaya integritas yang kuat.

🔎 Faktor-Faktor Kunci Pembangunan Integritas Aparat Hukum di Negara Skandinavia

1. Pendidikan & Seleksi Aparat yang Ketat dan Transparan

Rekrutmen polisi, jaksa, dan hakim sangat selektif dan berbasis merit.

Integritas moral dan etika diuji sejak proses seleksi.

Pendidikan hukum dan kepolisian tidak hanya fokus pada keterampilan, tapi juga nilai etika, HAM, dan pelayanan publik.

➡️ Di Norwegia, pendidikan polisi adalah program universitas selama 3 tahun, termasuk kurikulum HAM, mediasi konflik, dan komunikasi publik.

2. Sistem Gaji dan Kesejahteraan yang Memadai

Aparat hukum digaji tinggi dan layak, mengurangi dorongan untuk korupsi.

Jaminan sosial, perumahan, dan kesehatan sangat diperhatikan oleh negara.

Ini menciptakan loyalitas dan motivasi moral dalam menjalankan tugas.

3. Akuntabilitas dan Pengawasan Independen

Ada lembaga pengawas internal dan eksternal yang benar-benar independen.

Di Swedia, pengawasan polisi dilakukan oleh Swedish Police Authority’s Internal Affairs dan ombudsman parlementer.

Semua pelanggaran aparat, sekecil apa pun, ditindak tegas dan terbuka ke publik.

4. Keterbukaan dan Transparansi Pemerintahan

Prinsip keterbukaan (openness) menjadi budaya hukum: semua dokumen publik bisa diakses warga.

Di Swedia, Freedom of the Press Act memungkinkan warga memeriksa dokumen keputusan hukum dan pemerintahan.

➡️ Ini menciptakan kontrol sosial alami terhadap penyimpangan aparat hukum.

5. Budaya Hukum dan Etika Publik yang Kuat

Integritas tidak hanya dibentuk oleh sistem, tapi oleh budaya kolektif masyarakat.

Di negara Skandinavia, masyarakat memiliki kepercayaan tinggi terhadap hukum dan aparatnya, karena mereka melihat contoh baik dalam praktik sehari-hari.

➡️ Polisi dan hakim dilihat bukan sebagai “penguasa”, tapi “pelayan publik”.

6. Pemimpin Lembaga Hukum yang Bersih dan Profesional

Pemilihan kepala lembaga hukum (kapolri, jaksa agung, hakim agung) dilakukan secara transparan dan berbasis rekam jejak profesional.

Tidak ada dominasi politik dalam rekrutmen posisi kunci.

🔑 Prinsip Inti Sistem Skandinavia:

> “Build systems that don’t need heroes.” Artinya, sistem dibangun agar integritas tidak bergantung pada individu luar biasa, tetapi pada struktur dan budaya yang mendorong semua orang berperilaku benar.

✍️ Penutup

Integritas aparat hukum di negara-negara Skandinavia adalah hasil dari:

Sistem seleksi yang ketat

Budaya pelayanan publik

Kesejahteraan yang dijamin

Pengawasan yang aktif

Transparansi yang sistemik